Capres Alternatif Dinilai Punya Magis Elektoral Jelang 2024
Saat ini, capres yang dianggap kuat masih ditempati oleh Prabowo, Anies, dan Ganjar.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Calon Presiden (capres) alternatif dinilai punya magis elektoral pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. Penilaian ini muncul karena capres alternatif dianggap bisa jadi kuda hitam, yang mampu mengalahkan capres yang selama ini dinilai kuat.
Demikian salah satu pesan yang mengemuka dalam seminar nasional Lingkar Studi Politik Indonesia (LSPI) dengan tema 'Peta Politik dan Peluang Elektoral Capres Alternatif 2024' yang diselenggarakan di Tebet Jakarta Selatan, Ahad (21/11).
Hadir sebagai pembicara dalam seminar tersebut Rio Prayoga Direktur Eksekutif Politika Research & Consulting; Adi Prayitno Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia; Andi Wijaya Wakil Sekjen Partai Gerindra; dan Dimas Prakoso Akbar Jubir Partai Amanat Nasional.
Rio Prayogo mengatakan, dalam survei terbaru Politika Research and Consulting (PRC) yang dirlis Senin (15/11), capres kuat masih ditempati tiga nama, yaitu Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo, dan Anies Baswedan.
Namun posisi mereka terus dibayang-bayangi capres alternatif yang berada di papan tengah. Ada empat Capres alternatif, yaitu Sandiaga Uno, Agus Harimurti Yudhoyono, Ridwan Kamil, dan Tri Rismaharani.
"Dari empat nama itu, Sandiaga Uno memiliki level elektoral paling tinggi, yaitu 7 persen dan dianggap layak mengisi etalase politik menjelang Pilpres 2024," kata Rio
Adi Prayitno menambahkan, elektabilitas Sandiaga sempat turun usai Pilpres 2019 tetapi rebound setelah dilantik menjadi Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf). Ini artinya, kenaikan elektabilitas Sandiaga merupakan bentuk apresiasi publik terhadap kinerjanya sebagai Menparekraf.
"Jadi tidak aneh bila Sandiaga masuk jadi capres alternatif dalam survei PRC. Karena prestasi dan akselerasi Sandi sebagai Menteri Pariwisata cukup berhasil. Itu yang ditangkap publik," kata Adi Prayitno.
Selain prestasi sebagai menteri, kenaikan elektabilitas Sandi juga didorong dua faktor lain, yaitu sosoknya yang diterima semua golongan dan kedekatannya dengan basis pemilih Muslim.
Menurut Adi, Sandi punya magnet politik cukup bagus. Bahkan pernah diasosiasikan dengan sejumlah partai Islam ketika mereka mencari sosok ketua umum.
"Sandi relatif sosok yang diterima di hampir semua kalangan. Bahkan sempat dikaitkan sebagai ketua umum parpol tertentu, yang berbasis Islam. Artinya Sandi punya magnet politik kuat," kata Adi.
Tidak hanya itu, Sandi juga dekat dengan semua komunitas Muslim. Bahkan dengan kaum Muslim yang selama ini dikenal sebagi kelompok 212 juga dekat.
"Data ini membuktikan, basis pemilih Muslim seperti alumni 212 itu tidak bulat dukung Anies Baswedan. Bisa dicek, mereka banyak juga yang mendukung Sandi," tuturnya.
Sementara itu, Andy Wijaya menegaskan, figur Sandiaga memang mampu mencuri perhatian. Selain karena muda, namanya juga sudah populer. Namun, Partai Gerindra hingga saat ini masih tetap mengusung Prabowo Subianto sebagai capres.
"Bagi masyarakat, Sandiaga dianggap alternatif. Dianggap muda, darah segar. Tapi perlu diingat, di Gerindra, keputusan Rakernas masih Prabowo untuk maju. Meski sampai sekarang Pak Prabowo belum mendeklarasikan diri atau menyatakan akan maju lagi jadi Capres," kata Andi.
Dimas Akbar mengamini pernyataan Andi Wijaya. Tidak hanya Gerindra, tapi hampir semua partai saat ini memutuskan akan mengusung ketua umumnya jadi capres.
Menurut Dimas, pemegang tiket pencalonan adalah partai. Dan mereka ingin memajukan kader terbaiknya sendiri, yaitu ketum parpolnya. Tapi, jika ingin menang, tentu partai harus mendengar suara publik.
"Mendengar suara publik adalah cara kita mengisi ruang demokrasi. Partai perlu mendengar nama-nama Capres pilihan publik yang tergambar dari sejumlah survei," tuturnya.
Dimas mengatakan, salah satu capres pilihan publik adalah Sandiaga. "Sandi punya modal, nama lengkap dan foto sudah tersebar lewat surat suara di pilpres kemarin. Wajar masuk top of mind," imbuhnya.
Pernyataan Dimas diafirmasi Adi Prayitno. Menurutnya, Parpol perlu belajar pada sejarah. Misalnya Pilpres 20214, saat PDIP memutuskan mencalonkan Joko Widodo yang merupakan pilihan publik.
"Dulu nama Jokowi partama muncul, itu suara publik. Dulu PDIP sudah ada calon, yaitu ketua umumnya, Megawati. Tapi karena survei Jokowi yang unggul, akhirnya kita lihat. PDIP milih Jokowi dan berjaya sampai dua periode. Ini pelajaran agar partai mendengan suara publik," kata Adi.