UMKM di Daerah 3T Membutuhkan Perhatian Lebih

E-commerce tak harus berwawasan nasional, potensi terbesar ada di lokal

Antara/Syifa Yulinnas
Pelaku usaha memotret produk teh bajakah miliknya sebelum dipasarkan melalui pasar digital di salah satu Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) di Desa Suak Puntong, Kuala Pesisir, Nagan Raya, Aceh, Sabtu (28/8/2021). Pemerintah dan sektor swasta terus berupaya membantu pelaku UMKM untuk bisa bangkit di tengah pandemi Covid-19 melalui strategi digitalisasi karena dengan memanfaatkan teknologi digital pangsa pasar UMKM semakin luas dan aktivitas perdagangannya bisa tercatat dengan baik.
Red: Budi Raharjo

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kondisi pandemi Covid-19 menjadi momentum lahirnya transformasi UMKM ke arah digital market atau e-commerce. Transaksi digital market selama pandemi meningkat sangat signifikan. 


Direktur layanan TI untuk Masyarakat dan Pemerintah Bakti Kominfo, Danny Januar Ismawan, melihat pandemi memiliki hikmah tersendiri. Masyarakat, termasuk di daerah 3T (terdepan, terluar, tertinggal) secara tidak langsung dipaksa oleh kondisi untuk bisa beradaptasi secara cepat melakukan adopsi teknologi. 

Terlebih wilayah 3T yang telah terjangkau akselerasi jaringan telekomunikasi yang dilakukan pemerintah. "Sehingga kebangkitan UMKM di kala pandemi ini menjadi momentum transformasi UMKM Indonesia menjadi lebih maju,” ujar Danny.

Sebagai gambaran, pada tahun 2020 terjadi peningkatan jumlah UMKM yang bergabung di e-commerce dan online marketing pada level menengah. Pada tahun yang sama terjadi kenaikan transaksi e-commerce sebesar 29,6 persen dari Rp 205,5 triliun pada 2019 menjadi Rp 266,3 triliun. 

Melihat potensi digitalisasi UMKM yang sangat penting, Danny memandang UMKM di daerah 3T membutuhkan perhatian lebih, khususnya dalam mempersiapkan para pelakunya melalui pelatihan dan pendampingan. Materi pembelajaran dimulai dari hal dasar, bertahap hingga ke tingkat mahir. 

Ketua Bidang Keanggotaan & Business Development idEA (Asosiasi E-Commerce Indonesia), Mohamad Rosihan, menyatakan timnya menemukan banyak tantangan di daerah 3T sehingga dipaksa memikirkan ulang program kurikulum pelatihannya. Sebab selama ini program pelatihan banyak berlangsung di pulau Jawa yang fasilitasnya jauh lebih baik. 

Menurut Rosihan lokasi usaha UMKM juga menentukan strategi go online yang dipakai sebab posisi menentukan daya saing produknya. Sedangkan, daya saing UMKM daerah tergantung daya saing digital per wilayah. "Solusi yang diberikan pada para peserta juga berbeda-beda untuk tiap daerah, sebab karakteristik lokasi dan permasalahan pun berbeda," katanya.

Propinsi yang ada di luar Jawa tantangan terbesar ada di masalah logistik. Rosihan mengatakan dibutuhkan solusi khusus agar bisa bersaing dengan UMKM yang ada di Jawa. Dengan begitu mereka juga dapat memanfaatkan market size terbesar saat ini yang masih berada di Pulau Jawa. 

Rosihan menambahkan bahwa e-commerce tidak harus selalu berwawasan nasional. Potensi terbesar sebenarnya ada di e-commerce lokal karena karakteristik produk lebih sesuai untuk konsumen lokal.  “On boarding bisa di e-commerce nasional, tapi fokus pelanggan tetap di pasar lokal,” ujarnya. 

Pada 2020 lalu sudah 4.000 peserta UMKM daerah 3T mengikuti pelatihan yang diselenggarakan Bakti. Tahun ini, Bakti menambahkan layanan dengan menjembatani akses pembiayaan, baik itu dari perbankan maupun institusi lain yang menyalurkan kredit dan permodalan bagi UMKM. 

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler