Wanita Gaza Dipaksa Gugurkan Impian Jadi Ibu
Perang membuat wanita hamil di Gaza depresi dan keguguran.
REPUBLIKA.CO.ID, GAZA -- Selama agresi Israel yang terbaru di Gaza, Doaa al-Ejla dipaksa menggugurkan janin dari program inseminasi buatan yang dia impikan sejak pernikahan. Ini membuat dia depresi hingga berbulan-bulan.
Terlepas pernikahan enam tahun dan upaya yang terus-menerus untuk hamil, Doaa tidak dapat hamil secara alami. Jadi, seperti halnya dengan perempuan Gaza lainnya, dia dan suami menempuh jalan membayar biaya inseminasi buatan untuk memenuhi impian mereka memiliki anak.
"Inseminasi buatan di Gaza menelan biaya 2.000 dolar AS (sekitar Rp 28,5 juta), tidak termasuk obat-obatan lebih lanjut yang diperlukan selama kehamilan. Tetapi biaya ini tidak terlalu berat jika dibandingkan dengan memiliki anak," kata Doaa seperti dikutip dari laman Al Araby, Senin (22/11).
Ia menambahkan, penembakan Israel di daerah yang tengah diperangi mengakibatkan tekanan pada wanita hamil di Gaza. Banyak yang harus menggugurkan janin mereka sebagai akibatnya.
Pada Mei lalu, ketika serangan Israel menghujani Gaza selama 11 hari, dokter Doaa menginstruksikan perempuan tersebut menahan diri dari menonton berita katena takut hal itu akan memperburuk kesehatan dirinya dan janinnya. Tragisnya, ini membuat sang bayi tidak bisa bertahan lebih lama.
Setelah mendengar Israel akan meningkatkan serangannya, dia dan suaminya memutuskan meninggalkan rumah mereka di lingkungan berisiko Shujaiya yang beberapa mil jauhnya dari perbatasan Israel. "Kami berlari di jalan selama beberapa menit sampai kami menemukan seorang sopir taksi menuju ke jantung Gaza, tempat paman saya tinggal. Setelah dua hari, gedung yang kami tuju menjadi sasaran rudal drone di tengah malam, jadi kami tak punya pilihan lain selain berlindung di Rumah Sakit al-Shifa sampai matahari terbit," kata Doaa kepada Al Araby.
Pamannya kemudian memutuskan menyewa sebuah rumah di Jalan al-Wehda yang sebelumnya dianggap sebagai salah satu tempat tinggal yang lebih aman di Gaza selama tiga perang terakhir. Namun, sekali lagi keberuntungan tak berpihak pada mereka.
Setelah itu, Israel meratakan tiga bangunan tetangganya, menghancurkan infrastruktur di sekitarnya dalam proses tersebut. Serangan roket zionis itu menewaskan lebih dari 45 warga sipil.
"Itu adalah 15 menit terlama yang pernah saya alami di Gaza, rasanya seperti kiamat telah tiba. Saya tak bisa berhenti menangis, saya harus menjatuhkan diri ke pelukan suami saya dan berdoa kepada Tuhan untuk keselamatan kami," katanya.
Beberapa hari setelah gencatan senjata disepakati, Doaa mulai merasakan sakit yang parah di perutnya. Setelah itu, ia mengalami pendarahan kemudian menyebabkan keguguran. Sejak saat itu dia trauma karena kehilangan janinnya dan kesehatan mentalnya sangat menderita.
"Saya menghabiskan sebagian besar waktu saya untuk tidur, tidak dapat melakukan hal lain. Saya tidak makan dengan baik. Saya tidak ingin melihat atau berbicara dengan siapa pun, apalagi pergi ke mana pun. Karena biaya kehamilan melalui inseminasi buatan sangat tinggi, saya tak tahu kapan bisa melakukannya lagi," katanya.
Bahkan jika dirinya dan suami melakukannya, Doaa tak yakin akan berhasil. Selama eskalasi 11 hari, rumah sakit Gaza tidak rapat memberikan layanan yang paling terbatas kepada wanita hamil karena dibanjiri dengan kunjungan mendesak mereka yang terluka parah. Sedangkan rumah sakit swasta ditutup sepenuhnya.
Rumah sakit Al-Awda adalah salah satu rumah sakit yang buka penuh selama agresi Israel di Gaza. Rumah sakit ini terus memberikan dukungan kepada wanita hamil dan melahirkan.
Namun, dengan jangkauan fisik yang minimal, ibu hamil diberi nasihat medis oleh staf rumah sakit melalui media sosial. Selama serangan 11 hari, wanita mengalami depresi atau ketidakpuasan yang mendalam setelah hamil. Bangsal rumah sakit dipenuhi ibu menangis yang tidak menerima bayi mereka atau menghadapi pola tidur yang tak teratur.
"Eskalasi baru-baru ini berdampak negatif pada kesehatan wanita hamil, dengan jumlah operasi caesar, kelahiran prematur, dan keguguran meningkat secara dramatis selama periode itu;" kata seorang psikolog di runah sakit al-Awda, Helena Musleh.
Ia mencatat ada hampir 100 kelahiran di rumah sakit dan 30 di antaranya dilahirkan melalui operasi caesar. Musleh mengatakan, stres adalah salah satu faktor utama kenaikan keguguran yang berdampak negatif terhadap perubahan hormonal.
Salah satu akibat ketidakseimbangan ini adalah ketidakmampuan ibu untuk menyusui. "Sebagian wanita ini menghadapi trauma majemuk, dari pengalaman melahirkan, rumah mereka dihancurkan, atau kehilangan orang yang dicintai selama perang," ujarnya.
Tidak bisa menyusui
Di antara para wanita ini adalaj Mai al-Masri. Perempuan berumur 20 tahun itu kehilangan anaknya yang berusia setahun, Yasser, setelah serangan udara Israel menghantam rumahnya. Ia bergegas keluar rumah, kemudian mencari suaminya. Namun, ia menemukan anaknya yang berlumuran darah.
"Setelah tak menemukan denyut nadi, saya menyadari anak saya sudah meninggal. Saya tidak bisa menerima itu, saya memeluknya dan meminta ia membuka matanya," katanya.
Ia mengaku rindu tawa anaknya. Sejak rumahnya hancur, dirinya tinggal di rumah ayahnya karena suaminya yang terluka tidak dapat merawatnya setelah dipindah ke rumah sakit.
Dia menghabiskan waktunya sendirian, melihat foto putranya Yasser selama berjam-jam. Ia menambahkan, tak ada anak lain yang bisa menggantikan.
Trauma kehilangan membuatnya tidak bisa menyusui bayinya yang lain, tidak bisa tidur nyenyak semalaman, atau makan enak berbulan-bulan setelah melahirkan.
"Payudara saya tidak bisa menghasilkan susu, jadi saya memberikan anak saya susu formula. Saya hanya bersyukur kepada Tuhan karena melahirkan bayi yang sehat, terlepas dari keadaan dan semua yang saya lalui," katanya.
Tetangganya melahirkan bayi prematur di rumah sakit dan bayinya masih di inkubator sampai bernapas dengan baik. Di Gaza, kenyataan hidup tragis seperti itu menjadi lazim.