Teori Ilmuwan Falak Muslim Hingga Kini Masih Digunakan
Para ilmuwan Muslim banyak melahirkan karya dalam berbagai cabang sains.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Para ilmuwan Muslim banyak melahirkan karya dalam berbagai cabang sains. Salah satunya pada ilmu tentang lintasan benda-benda langit yakni matahari, bulan dan bumi (ilmu falak) dan seluruh benda langit yang ada di alam jagat raya atau ilmu astronomi.
"Ada banyak Muslim yang menjadi ahli falak pada zamannya dan produk kerjanya masih digunakan pada saat ini," kata pakar ilmu falak dan astronomi yang juga Wakil Ketua Lembaga Falakiyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Ma'rufin Sudibyo.
Kiai Ma'rufin mencontohkan tentang teori kemiringan ekliptika di bola langit menjadi subyek penelitian beberapa ilmuwan Muslim di antaranya al Ma’mun (813 - 833), al-Farghani (~859 M) dan disusul al Tusi (1135 - 1213 M). Kiai Ma'rufin menjelaskan lingkaran ekliptika adalah tempat keberadaan rasi-rasi bintang zodiak dan kedudukannya diturunkan dari kemiringan sumbu rotasi bumi.
Pengukuran saat itu menemukan kemiringan ekliptika sebesar 23º 30’ terhadap ekuator langit. Dengan kata lain sumbu rotasi bumi memiliki kemiringan 23º 30’ terhadap bidang ekliptika. Nilai kemiringan ini masih dipakai di era modern (dengan ketelitian lebih baik) dan menjadi salah satu faktor yang menentukan perubahan musim di permukaan bumi.
Kiai Ma'rufin mengatakan tentang teori rotasi bumi telah didiskusikan secara mendalam oleh al Biruni (973 - 1050 M) dan generasi berikutnya seperti al Tusi. Bumi yang berotasi lebih konsisten dengan parameter-parameter astronomis yang telah diketahui dari pengamatan-pengamatannya. Bumi yang berotasi menjadi salah satu faktor yang kelak memicu revolusi heliosentris dari Copernicus, yang menjadi pondaman astronomi modern.
Begitupun tentang presesi sumbu rotasi bumi juga adalah subyek penelitian ilmuwan Muslim al Battani (858 - 929 M) yang dilanjutkan Abdurrahman al Sufi (903 - 986 M) dan al Tusi. Kiai Ma'rufin menjelaskan presesi sumbu rotasi bumi adalah bergesernya orientasi sumbu rotasi bumi secara perlahan-lahan yang membentuk sebuah siklus tertentu.
Pergeseran ini ditandai oleh berubahnya kedudukan kutub utara langit terhadap bintang-bintang. Penelitian mereka menemukan nilai presesi 51 detik busur (0,0142º) per tahun. Sehingga akan membentuk lingkaran penuh setelah menempuh waktu ~25.000 tahun.
"Presesi sumbu rotasi B/bumi menjadi faktor krusial dalam perhitungan kalender Syamsiyah, karena periode tropis bumi lebih pendek 20 menit dibanding periode sideris bumi," katanya.
Ilmuwan Muslim lainnya seperti Ibn Haytham (965 - 1040 M) menjadi peletak dasar-dasar optika, yang kelak sangat berguna dalam penemuan teleskop dan kegunaannya bagi pengamatan-pengamatan langit. Ibn Haytham juga menjadi pelopor penerapan metode ilmiah yang hingga kini menjadi jantung sains modern, dengan menghubungkan percobaan dan pengujian terkontrol dalam pencarian ilmiah. Metode ilmiah Ibn Haytham terutama digunakan dalam penelitian-penelitiannya terkait Bulan.
Kiai Ma'rufin menerangkan tentang galaksi Andromeda yang pertama kali diidentifikasi pada 964 Masehi oleh Abdurrahman al Sufi. Saat itu, al Sufi mencatatnya sebagai titik berasap di dalam rasi Andromeda.
Menurut Kiai Ma'rufin, orang-orang Eropa baru mengenalnya empat abad kemudian. Identitas Andromeda sebagai galaksi yang berada di luar galaksi Bima Sakti baru diketahui pada dasawarsa kedua abad ke-20 Masehi.
Namun demikian, tentang seberapa besar teori-teori ilmuwan muslim digunakan khususnya dalam tugas yang dijalankan Lembaga Ilmu Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), Ketua Lapan Thomas Djamaluddin mengatakan sulit mengidentifikasinya. "Dalam sains modern saat ini sulit diidentifikasi teori-teori ilmuwan tertentu. Sains modern dikembangkan oleh banyak orang yang saling menyempurnakan," katanya.