Eks Bos Inteljien Ingatkan Israel tak Sembrono Serang Iran

Serangan terhadap nuklir Iran akan jauh lebih rumit daripada ke Suriah.

ap/Planet Labs Inc.
Foto satelit dari Planet Labs Inc. menunjukkan fasilitas nuklir Natanz Iran pada hari Rabu, 14 April 2021.
Rep: Rizky Jaramaya Red: Teguh Firmansyah

REPUBLIKA.CO.ID, YERUSALEM -- Mantan kepala Intelijen Militer Israel, Tamir Pardo, mengatakan, Tel Aviv harus menahan diri menyerang fasilitas nuklir Iran, kecuali jika memiliki kapasitas menghancurkan mereka sepenuhnya. Pardo memperingatkan, serangan militer terhadap program nuklir Iran akan jauh lebih rumit daripada serangan sukses Angkatan Udara Israel terhadap reaktor Irak dan Suriah.

 “Jika tidak mungkin menutup bisnis ini seperti yang kita lakukan dalam Operasi Opera (melawan program nuklir Irak pada 1981), maka sebaiknya kita berpikir dua kali,” kata Pardo, dilansir Middle East Monitor, Kamis (25/11).

Sementara, mantan kepala Mossad Amos Yadlin mengatakan, selama dekade terakhir, kebijakan Tel Aviv tentang program nuklir Iran diputuskan secara pribadi oleh mantan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu tanpa konsultasi dengan pejabat lainnya. Dia menyebut, masalah Iran diprivatisasi oleh satu orang.

Baca Juga


Yadlin menambahkan, kesepakatan nuklir 2015 atau Rencana Aksi Komprehensif Gabungan (JCPOA) antara Iran dan enam negara lain, termasuk Amerika Serikat, membuat Iran tidak membuat kemajuan dalam program nuklirnya. "Kesalahannya bukan pada 2015, tetapi pada 2018 ketika mereka (Amerika Serikat) meninggalkan kesepakatan di tahun-tahun yang baik," ujar Yadlin.

Para pejabat AS telah memperingatkan, ancaman serangan berulang Israel terhadap fasilitas nuklir Iran sangat kontraproduktif. Ancaman tersebut juga dapat menyebabkan Teheran mempercepat program nuklirnya.

New York Times melaporkan, pejabat Israel menepis peringatan AS tersebut. Pejabat Israel yang tidak disebutkan namanya mengatakan, mereka tidak memiliki rencana untuk menghentikan serangan terhadap fasilitas Iran.


Selama dua tahun terakhir, operasi intelijen Israel telah dikaitkan dengan ledakan besar di empat fasilitas nuklir, dan pembunuhan kepala ilmuwan nuklir Iran Mohsen Fakhrizadeh. Terlepas dari serangan ini, Iran dengan cepat melanjutkan operasi nuklir dan meningkatkan peralatan untuk memungkinkan pengayaan uranium yang lebih cepat. Para pejabat AS juga mencatat bahwa Iran telah meningkatkan sistem pertahanannya terhadap serangan siber.

Masalah ini telah menjadi salah satu dari banyak perbedaan antara pejabat Israel dan Amerika tentang bagaimana menangani program nuklir Iran.  Washington mengedepankan diplomasi sebagai jalan terbaik ke depan. Sementara Israel menekankan untuk mempertahankan diri terhadap kemampuan nuklir Iran.

"Iran tidak akan membuat konsesi hanya karena kami meminta mereka dengan baik," ujar penasihat keamanan nasional Israel, dilansir Alarabiya.

Pekan lalu, pengawas atom PBB meyakini Iran telah meningkatkan persediaan uranium yang diperkaya. Hal ini melanggar kesepakatan JCPOA dengan enam kekuatan dunia.

Dalam laporan triwulan, Badan Energi Atom Internasional (IAEA) mengatakan bahwa, Iran memiliki perkiraan stok uranium yang diperkaya hingga 60 persen kemurnian fisil sebanyak 17,7 kilogram. Jumlah ini meningkat dari sebelumnya yaitu 10 kilogram.

Para pejabat AS mempertimbangkan kemungkinan kesepakatan sementara dengan Iran. Kesepakatan tersebut yaitu membekukan produksi uranium yang diperkaya, dengan imbalan pelonggaran sejumlah sanksi. Hal ini diharapkan dapat mengulur waktu untuk negosiasi JCPOA, dan menjaga Israel agar tidak mengebom fasilitas Iran.

Diplomat senior dari China, Prancis, Jerman, Rusia, dan Inggris berencana untuk bertemu dengan pejabat Iran di Wina pada 29 November. Mereka akan berupaya membujuk Teheran untuk kembali mematuhi kesepakatan JCPOA.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler