Main Habis-habisan Dulu, Kalah Menang Belakangan
Timnas basket putra Indonesia akan menghadapi game kedua melawan Lebanon.
Oleh: Israr Itah, Jurnalis Republika
REPUBLIKA.CO.ID, "Kalau lu nggak pengen menang, tidur aja di rumah, nggak usah datang ke lapangan," kata seorang pelatih basket kawakan Tanah Air saat kami berdiskusi kecil soal ekspektasi dan realita dalam olahraga. Perbincangan ini terjadi belasan tahun lalu, saat saya baru mengawali pekerjaan sebagai jurnalis yang meliput olahraga, khususnya bola basket.
Konteksnya adalah bagaimana sikap tim, pelatih, dan pemain menghadapi lawan yang di atas kertas jauh diunggulkan. Menurut pelatih tersebut, mindset pelatih dan pemain tetap fokus pada memberikan perlawanan terbaik tanpa perlu khawatir memikirkan hasil akhir. Dimulai dari persiapan jelang laga hingga detik akhir bunyi buzzer tanda laga usai. Sederhananya, main habis-habisan dulu seolah-olah dengan itu kita bisa meraih kemenangan, tapi pada saat yang sama tak perlu mengkhawatirkan hasil laga karena toh posisi kita underdog.
Kata-kata si pelatih ini teringat kembali selepas menyaksikan pertandingan perdana timnas basket putra Indonesia di Grup C FIBA World Cup 2023 Qualifiers menghadapi Lebanon di Nouhad Nawfal Sport Complex, Zouk Mikael, Lebanon, Sabtu (27/11) dini hari WIB. Timnas basket putra Indonesia kalah telak 38-96. Kritikan dan hujatan mengalir deras di kolom percakapan Youtube FIBA yang menayangkan langsung laga ini.
Belum cukup, kata-kata pedas berlanjut di media sosial akun-akun basket Tanah Air. Yang jadi sasaran kritik, yakni PP Perbasi selaku induk olahraga basket Tanah Air, pelatih kepala Rajko Toroman, manajemen timnas basket putra, dan para pemain.
Hal yang dibahas beragam. Untuk coach Toro misalnya, ia dinilai tak cocok memegang timnas basket kita dan layak diganti karena tak mampu meningkatkan performa pasukannya. Strateginya dipandang monoton dan seperti tak punya rencana cadangan saat game plan utama tak berjalan. Ia juga dianggap tak maksimal dalam merekrut pemain-pemain terbaik di Tanah Air ke dalam timnya.
Keluhan yang terakhir ini, pada saat yang sama, juga tertuju kepada manajemen timnas yang dinilai memilih pemain itu-itu saja. Suka tak suka, ini juga merembet kepada personal beberapa pemain. Sejumlah nama dinilai tak pantas berada di timnas basket putra sekarang dan lebih baik memberikan kesempatan kepada pemain lain yang dianggap bisa memberikan kontribusi positif.
Dasar alasannya, tak ada perkembangan berarti meskipun sudah berlatih lama, termasuk digembleng di Amerika Serikat. Mental yang tak siap, dan lain sebagainya. Padahal para pemain ada di dalam roster timnas basket karena dipilih, bukan mendaftar!
Sementara, yang mendudukkan persoalan sedikit lebih fair, menanyakan soal absennya Arki Dikania Wisnu dan Lester Prosper. Arki adalah pemain paling senior di timnas, sementara Lester merupakan penggawa naturalisasi yang dibutuhkan mengisi pos di bawah ring. Keduanya absen pada laga ini tanpa ada penjelasan resmi dari PP Perbasi. Tanpa Arki, dan Lester terutama, timnas kita tak berdaya.
Sulit tanpa Lester
Dalam pandangan saya, letak permasalahannya ada pada absennya Arki dan terutama Lester. Bayangkan jika Anda pelatih dan sudah menyiapkan game plan jauh-jauh hari dengan skuad yang dimiliki. Namun beberapa hari jelang pertandingan, kapten tim Anda tak bisa bermain. Ditambah satu pemain penting Anda menyusul dinyatakan tak bisa turun beberapa jam sebelum tip-off. Padahal sosoknya sangat diperlukan. Meskipun kehadirannya bukan garansi kemenangan, setidaknya dengan kehadiran Lester, timnas basket kita jadi makin bergigi.
Tanpa pemain berpostur 2,09 meter kelahiran Republik Dominika ini, kita tak leluasa menyerang ring Lebanon dari paint area. Hanya Brandon Jawato dan sesekali Abraham Damar Grahita yang berusaha keras menerobos. Jawato beberapa kali menghasilkan poin, sementara Abraham kesulitan. Para pemain lain juga berusaha, tapi sulit merangsek masuk.
Ring Lebanon berubah gelap dengan banyaknya postur jangkung yang siap menepis bola yang coba dilayangkan ke basket mereka. Abraham akhirnya mendapatkan poin lewat tiga kali tembakan tiga angka dari 11 percobaan, dan sekali tembakan dua angka dari sembilan usaha!
Lester mungkin juga tak mudah mencetak angka saat menghadapi lawan sekelas Ater Majok, center Lebanon yang pernah didraft Los Angeles Lakers walaupun tak bermain. Namun saat itu terjadi, ada ruang terbuka yang bisa dimanfaatkan rekan-rekannya untuk menerobos lebih dekat ke ring untuk mencetak poin. Beban para pemain kita tak akan seberat saat tanpa Lester. Minus Lester, serangan lebih banyak bertumpu kepada tusukan Jawato atau via tembakan jarak jauh.
Di defense, Lester bakal lebih mampu meladeni pemain-pemain tinggi Lebanon. Sebab, defense tanpa Lester jadi masalah besar pada game ini. Coach Toro memilih fokus membendung paint area dengan menumpuk banyak pemain di dalam mendampingi Vincent Rivaldo Kosasih. Sementara para guard diminta agresif menutup atau memotong bola sebelum makin mendekati ring. Lebanon dipaksa menembak dari jauh.
Strategi ini menurut saya cukup baik di kuarter pertama. Lebanon kesulitan mencetak poin saat dipaksa menembak dari jauh. Beberapa kali bola mereka hilang dicuri saat mencoba mendribel masuk.
Kita juga punya sejumlah kesempatan transisi atau menembak dalam keadaan terbuka. Apes, percobaan demi percobaan yang dilepaskan, baik dalam kondisi terbuka maupun dalam keadaan dijaga, tak menghasilkan angka. Sementara lawan kemudian perlahan menemukan sentuhannya lewat tembakan jarak jauh.
Situasi makin pelik saat beberapa pemain kunci sudah melakukan beberapa foul demi menghentikan serangan Lebanon. Rotasi dilakukan, termasuk mendudukkan Jawato yang jadi leader di defense dan offense. Bisa ditebak yang terjadi, timnas basket putra kita jadi bulan-bulanan.
Lantas, mengapa saya teringat pada obrolan sang pelatih belasan tahun lalu? Jelas saja, karena di mata saya aksi para pemain timnas basket kita menghadapi Lebanon bisa jadi contoh paling mendekati dari penerapan filosofi ‘main habis-habisan dulu, kalah menang belakangan’. Attitude timnas basket kita sudah bagus meskipun akhirnya kalah telak.
Para pemain kita yang di atas kertas kalah segalanya, bertarung habis-habisan memaksimalkan kemampuan yang mereka punya. Perjuangan keras mereka terutama bisa terlihat di kuarter pertama saat hanya tertinggal 17-10. Para pemain kita terlihat lebih hustle. Saya percaya itu pasti buah gemblengan hampir sebulan di Negeri Paman Sam.
Jalan cerita pertandingan bisa jadi sedikit berbeda andai tembakan-tembakan para penggawa Merah-Putih di lapangan Nouhad Nawfal Sport Complex tersebut sebagian menemui sasaran.
Andakara Prastawa dkk memilih berlari, jatuh bangun merebut bola, ketimbang bermain seadanya menunggu buzzer tanda laga berakhir berbunyi. Kemudian beristirahat dengan nyaman di hotel menanti game kedua dan kembali melepas rindu dengan keluarga setelah sebulan berpisah. Toh, di atas kertas Lebanon diunggulkan menang, bahkan andai kita bisa diperluat Lester. Namun mereka tak memilih itu.
Semua ingin menang
Tak ada yang lebih menginginkan kemenangan dibandingkan pemain dan pelatih dari tim yang bertanding. Mereka berkorban banyak untuk itu.
Berpisah dari anak, istri, dan keluarga, kemudian hampir setiap hari dicolok hidungnya untuk tes Covid-19, ditambah siap-siap menerima hujatan warganet, bukan sesuatu yang mudah dijalani jika bukan karena kecintaan pada profesi mereka sebagai pemain basket dan terhadap Merah-Putih. Bagi pelatih asing, reputasi jadi pertaruhan bila tim yang dipegang menderita kekalahan telak.
Saya bisa merasakan kegeraman coach Toro dalam konferensi pers selepas laga. Ia mengaku belum pernah, sepanjang karier kepelatihannya, menelan kekalahan setelak ini. Menurut dia, secara skill individual dan kematangan, timnas basket Indonesia kalah kelas dari Lebanon yang sempat tiga kali jadi finalis FIBA Asia Cup.
Satu-satunya cara realistis menurut dia adalah meramu strategi permainan tim dan mengeksekusinya dengan sesempurna mungkin, untuk kemudian menerima apa pun hasilnya. Sayangnya, coach Toro tak menyebutkan penyebab absennya Arki dan Lester dalam konferensi pers ini.
Prastawa yang juga hadir dalam sesi konferensi pers mengakui permainan ia dan rekan-rekannya buruk, terutama dalam ekskusi. Dampaknya membuat mereka jadi bermain melenceng dari game plan yang sudah dibuat.
Pras dengan sadar mengakui timnas basket Indonesia harus bermain jauh lebih bagus lagi jika ingin mendapatkan hasil yang lebih baik ke depannya. Pras sampai menekankan kata ‘lebih’ berkali-kali dalam komentarnya.
Yang tak sadar mungkin sebagian penggemar basket kita. Bahwa kekalahan kontra Lebanon itu baru pertandingan pertama dari rangkaian panjang kualifikasi FIBA World Cup 2023. Masih ada lima pertandingan lagi, kembali menghadapi Lebanon dan masing-masing dua kali melawan Yordania dan Arab Saudi. Jika finis di peringkat tiga Grup H, bisa lolos ke putaran kedua, bergabung dengan 11 tim-lain untuk memperebutkan enam tiket ke FIBA World Cup 2023.
Yang tak sadar mungkin sebagian penggemar basket kita. Bahwa selain kualifikasi, ada jalur lain yang peluangnya sedikit lebih bear untuk lolos ke FIBA World Cup2023, yakni finis delapan besar di FIBA Asia Cup 2022, Juli nanti.
Yang tak sadar mungkin sebagian penggemar basket kita. Bahwa latihan sebulan di AS tak bisa langsung membuat timnas basket kita naik level sebegitu cepatnya. Bahwa pemain tak bisa digonta-ganti sebegitu cepatnya. Bahwa coach Toro sudah mencoba sejumlah pemain yang jumlahnya tak sedikit, tapi kurang bisa tune in dengan skema yang diinginkannya atau dalam perjalanannya cedera. Bahwa coach Toro juga didampingi asisten pelatih yang saat bermain merupakan penggawa timnas dan ketika pensiun memimpin tim menjadi juara IBL.
Bahwa para pemain yang dibawa ke Lebanon berasal dari finalis kompetisi IBL 2021 plus dua penggawa dari tim play-off, yang sudah punya cincin juara IBL. Bahwa level basket kita memang masih kalah kelas dari Lebanon.
Ya, harus diakui, level basket kita masih kalah kelas dari Lebanon. Andai mau meluangkan waktu untuk browsing, kita pasti bisa menemukan data prestasi Lebanon yang merupakan salah satu macan Asia. Lebanon punya eks pemain yang baru saja pensiun bernama Fadi El Khatib.
Fadi dikagumi sejumlah figur basket Tanah Air, termasuk Denny Sumargo ketika masih aktif bermain basket profesional dulu. Bahkan, ada pemain basket kita yang mengambil bagian nama Fadi untuk dijadikan nama anaknya. Fadi mengantar Lebanon tiga kali masuk final FIBA Asia Cup, terakhir pada 2007 di Tokushima, Jepang.
Masukan pasti dibutuhkan demi perbaikan prestasi timnas. Saya pribadi juga punya sejumlah saran, utamanya kepada Perbasi. Namun mengkiritik pelatih dan pemain secara berlebihan, yang cenderung ke arah hujatan, saat mereka hendak bertanding sudah pasti bukan pilihan bijak. Menghujat tak akan membuat timnas kita menjadi lebih baik.
Beda cerita dengan mendukung. Ada peluang dukungan kita membuat para pemain di sana jadi makin tenang dan bertambah kepercayaan dirinya. Ujung-ujungnya, mereka bisa bermain lepas saat berada di lapangan.
Timnas basket kita akan bertarung lagi melawan Lebanon di Nouhad Nawfal Sport Complex, Zouk Mikael, Senin (29/11) waktu setempat. Saatnya bounce back dengan menunjukkan performa lebih baik lagi. Dengan atau tanpa Lester, saatnya para para pemain timnas basket putra Indonesia menunjukkan bahwa mereka petarung sebenarnya. Main habis-habisan dulu, kalah menang belakangan!
*Update: Perbasi merilis pernyataan pada Senin (29/11) siang bahwa Arki terkena Covid-19 dan menjalani isolasi di AS. Sementara Lester dinyatakan positif Covid-19 beberap jam jelang game pertama. Namun Lester sudah negatif dan siap bermain di game kedua.