Long Covid Punya Kemiripan dengan Kelelahan Kronis

Studi terbaru temukan hubungan antara 'long covid' dan kelelahan kronis.

Piqsels
Studi terbaru temukan hubungan antara 'long covid' dan kelelahan kronis.
Red: Nora Azizah

REPUBLIKA.CO.ID, 

Baca Juga


Oleh: Umi Nur Fadhilah

Penelitian terbaru dari Icahn School of Medicine di Mount Sinai berhasil mengidentifikasi hubungan antara long covid dan sindrom kelelahan kronis. Penelitian ini memberikan pemahaman baru tentang kemiripan antara kedua penyakit tersebut.

Hingga kini, diperkirakan sekitar 50 persen dari mereka yang didiagnosis dengan Covid-19 akan mengalami semacam gejala yang menetap setelah beberapa pekan infeksi. Secara informal gejala ini dikenal sebagai long covid, yaki kondisi yang secara klinis dijuluki PASC (post-acute sequelae of SARS-CoV-2 infection).

Namun, hingga kini, masih belum jelas hal yang bisa menyebabkan gejala jangka panjang setelah Covid-19. Namun demikian, para peneliti mulai melihat kesamaan yang jelas antara long covid dan sindrom kelelahan kronis yang juga dikenal sebagai myalgic encephalomyelitis (ME/CFS).

Sebuah artikel ulasan yang diterbitkan pada Agustus lalu, dipimpin oleh para peneliti dari Johns Hopkins School of Medicine, menyebutkan bahwa kedua penyakit itu memiliki kelainan biologis yang serupa. Penelitian baru ini mengamati 41 pasien yang mengalami gejala Covid-19 persisten antara tiga hingga 15 bulan setelah infeksi akut mereka.

Secara khusus, semua pasien terus mengalami sesak napas (dikenal sebagai dyspnea/meskipun menunjukkan hasil normal pada tes fungsi paru, rontgen dada, dan CT scan. Hal yang mengejutkan, 88 persen pasien long covid menunjukkan pola pernapasan yang tidak normal selama CPET.

“Pemulihan dari infeksi Covid-19 akut dapat dikaitkan dengan kerusakan organ residual,” kata Penulis Utama dari studi, Donna Mancini, dilansir di New Atlas, Rabu (1/12).

Dia menjelaskan bahwa banyak dari pasien melaporkan sesak napas, dan tes latihan kardiopulmoner sering digunakan untuk menentukan penyebab yang mendasarinya. Hasil CPET menunjukkan beberapa kelainan, termasuk kapasitas latihan yang berkurang, respons ventilasi yang berlebihan, dan pola pernapasan yang tidak normal yang  memengaruhi aktivitas kehidupan sehari-hari mereka yang normal.

Hampir semua kohort menunjukkan nilai CO2 (karbon dioksida) yang rendah saat istirahat, yang menunjukkan hiperventilasi kronis. Mancini mengatakan, kondisi ini menunjukkan dispnea yang terlihat pada long covid mungkin dapat diobati dengan menawarkan latihan pernapasan kepada pasien.

“Ini penting karena kelainan ini dapat diatasi dengan latihan pernapasan atau 'pelatihan ulang’,” ujar Mancini.

Jenis dispnea ini sebelumnya telah terdeteksi pada pasien ME/CFS, yang menegaskan hubungan antara kedua penyakit kronis tersebut. Para peneliti melakukan wawancara diagnostik dengan seluruh kohort long covid untuk menilai setiap individu untuk ME/CFS. Hampir setengah dari kohort (46 persen) memenuhi kriteria diagnostik untuk ME/CFS.

Temuan baru mengacu pada penelitian sebelumnya yang menyoroti gejala mirip ME/CFS pada orang yang selamat dari epidemi SARS 2003. Sebuah studi kunci pada 2009 menemukan bahwa 27 persen penyintas SARS memenuhi kriteria diagnostik untuk ME/CFS empat tahun setelah infeksi akut. Lebih banyak pekerjaan akan diperlukan untuk menghilangkan korelasi antara long covid dan ME/CFS, tetapi dalam jangka pendek penelitian baru menunjukkan pengujian latihan kardiopulmoner bisa menjadi cara yang berguna untuk menilai pasien ini.

 
 

Sebelumnya, Ketua Pokja Infeksi Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) dr Erlina Burhan mengatakan, ada kemungkinan penderita long COVID-19 membutuhkan perawatan ulang. Perawatan dibutuhkan apabila gejala berkembang menjadi kondisi berat.

"Umumnya ringan tetapi 5 persen dikatakan ada kemungkinan menjadi progresif, menjadi berat bahkan perlu perawatan ulang karena long COVID," kata Erlina.

Erlina menuturkan, long COVID-19 adalah para penyintas COVID-19 atau orang yang sudah sembuh COVID-19. Namun, masih mengalami gejala sisa seperti batuk, sesak, rasa mudah lelah, sakit kepala, badan atau otot nyeri.

"Long COVID ini adalah para penyintas yang sudah sembuh artinya hasil PCR-nya negatif tetapi kemudian masih mengalami gejala sisa, jadi kadang-kadang masih batuk masih sesak," ujarnya.

Erlina mengatakan, sebagian besar pasien yang mendatanginya mengaku mengalami gejala kelelahan yang mana biasanya bisa berlari 1-2 Km tiap hari, namun jalan sejauh 200 meter saja sudah merasa lelah dan sesak. Erlina menuturkan, biasanya gejala-gejala long COVID-19 ditemukan pada pasien yang dirawat dengan derajat penyakit yang berat atau kritis.

 

Di samping itu, ia menuturkan badai sitokin yang menimpa para penderita COVID-19 juga menyebabkan kerusakan pada sistem organ lain, sehingga para penyintas COVID-19 butuh waktu untuk pemulihan. Fenomena long COVID-19, masing-masing orang memiliki durasi pemulihan yang berbeda, ada yang bisa pulih dalam rentang waktu 4-12 pekan. 

Ada juga yang di atas 12 pekan, bahkan enam bulan masih mengalami gejala sisa atau long COVID-19. Namun, pada sebagian besar kasus, akan kembali pulih menjadi seperti semula yang mana gejala sisa tersebut hilang sepenuhnya.


sumber : Antara
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler