Selain Omicron, Waspadai Juga Potensi KLB pada Masa Pandemi
Covid-19 varian Omicron 1,3 kali lebih cepat menular daripada varian Delta.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Juru Bicara Vaksinasi Covid-19 Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmizi menyebutkan ada empat hal yang menjadi perhatian bila ada varian baru dari Covid-19. Yaitu transmisi atau tingkat penularannya, virulensi atau tingkat keparahannya, efektivitas tata Laksana atau respon pengobatan, serta proteksi vaksin.
“Omicron diduga memiliki tingkat penularan yang lebih tinggi serta kemampuan untuk menghindar dari kekebalan tubuh kita," kata Nadia dalam siaran pers PPKM dikutip Kamis (2/12)
Namun, lanjut Nadia, tidak ada bukti dalam peningkatan keparahan, terutama pada individu yang telah divaksin. Selain itu, deteksi virus melalui pemeriksaan laboratorium saat ini masih sangat efektif. Walau demikian, ia mengakui masih banyak yang belum diketahui, dan masih dalam penelitian, sehingga setiap data/informasi masih terus berkembang.
Nadia menjelaskan, per 30 November 20 negara telah melaporkan pertambahan kasus Omicron dan kemungkinan terus bertambah. Namun ia mengimbau masyarakat untuk tidak panik, tetap melakukan berbagai upaya seperti disiplin protokol kesehatan serta percepatan cakupan vaksinasi.
Di sisi lain, Nadia mengingatkan potensi adanya KLB atau kejadian luar biasa di tengah pandemi Covid-19 di Indonesia. Hal ini dikarena cakupan imunisasi rutin yang mengalami penurunan. “Seperti yang pernah disampaikan oleh Bapak Dirjen P2P (Pencegahan dan Pengendalian Penyakit), bahwa cakupan imunisasi rutin kita mengalami penurunan, terutama sejak terjadinya pandemi Covid-19. Sehingga anak-anak menjadi rentan untuk menderita penyakit yang harusnya bisa dicegah dengan imunisasi,” kata Nadia.
Saat ini per data Oktober 2021, baru 31,5 persen dari total 514 kabupaten/kota di Indonesia yang telah mencapai target imunisasi dasar lengkap, dan beberapa wilayah sudah melaporkan kejadian baik sifatnya sporadik ataupun sudah masuk kategori KLB. Nadia meminta masyarakat segera hubungi Puskesmas setempat jika menemukan anak dengan lumpuh layuh akut, demam disertai bintik-bintik merah atau nyeri tenggorokan, untuk mendapatkan penanganan segera.
Bersamaan, ia juga mengingatkan kepada pemerintah daerah untuk dapat memberikan perhatian juga pada cakupan imunisasi anak-anak di wilayahnya. “Upaya untuk melengkapi cakupan imunisasi rutin perlu dilakukan terutama di saat pandemi Covid-19 dapat kita kendalikan seperti saat ini,” tegasnya.
Kemudian, Nadia mengimbau masyarakat untuk bijak menyikapi relaksasi berbagai kegiatan, serta selektif memilih kegiatan-kegiatan yang prioritas saja dengan mengedepankan protokol kesehatan. “Kita semua bisa berkontribusi dalam penanganan Covid-19. Apapun posisi kita, kita harus mampu untuk mengedukasi, mengubah perilaku, meningkatkan partisipasi masyarakat dalam penerapan protokol kesehatan dan vaksinasi Covid-19,” tegasnya.
Epidemiolog dari Universitas Griffith Australia Dicky Budiman mengatakan, berdasarkan laporan riset awal di Afrika Selatan dan Israel, varian Omicron patut diwaspadai karena kemampuan penularannya yang cepat. "Omicron 1,3 kali lebih cepat menular daripada Delta Varian, angka reproduksinya lebih besar dari Delta namun belum bisa dipastikan nilainya," kata Dicky, Rabu (1/12).
Oleh karenanya, cakupan vaksin dan disiplin protokol kesehatan seperti terus memakai masker, selalu menjaga jarak, melakukan karantina dan memiliki ventilasi serta sirkulasi udara yang baik masih sangat efektif untuk mencegah penularan Covid-19. Dicky menekankan, orang yang tidak divaksinasi 2,4 kali lebih berisiko mengalami keparahan.
Dalam riset tersebut juga disebutkan varian Omicron dapat mengurangi efikasi vaksin dan antibodi pada penyintas. Sehingga, booster vaksin dinilai bisa menurunkan risiko keparahan sampai 90 persen. "Virus berpotensi dapat mengurangi efektivitas pengobatan. Namun gejala umum sejauh ini relatif sama dengan varian Delta namun masih harus menunggu tiga pekan ke depan perkembangan data," tutur Dicky.
Ia kembali menekankan, semua varian Covid-19 mayoritas bergejala ringan sampai sedang, namun sekitar 5 persen akan perlu ICU/ventilator. Faktor kecepatan penularan akan berpengaruh pada potensi beban fasilitas kesehatan.
Strategi deteksi
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengaku berbagai upaya dilakukan agar bisa mendeteksi secara cepat varian baru Omicron. Salah satunya dengan melalui metode S-gene target failure (SGTF).
"Omicron ini salah satu mutasinya di S spike (mahkota virus) itu bisa diidentifikasi oleh PCR. Ada metode namanya SGTF. Sehingga kalau kita pakai reagen PCR, dia tidak terdeteksi atau istilahnya target failure, tapi gene yang lainnya positif, itu kemungkinan besar Omicron," kata Budi, Rabu (1/12) sore.
Saat ini, lanjut Budi sudah ada 12 laboratorium aktif tes PCR di setiap perbatasan negara, baik itu darat, laut maupun udara untuk mengecek sampel virus dari pelaku perjalanan yang terkonfirmasi positif Covid-19. Adapun, metode yang digunakan petugas laboratorium dalam meneliti pengurutan genom atau genom sekuensing dari varian Omicron difokuskan pada SGTF.
Metode ini juga diterapkan di 1.800 laboratorium Kementerian Kesehatan. Ia pun telah berbicara secara daring dengan para petugas laboratorium termasuk, laboratorium kesehatan daerah. "Akhirnya, strategi testingnya kita perbaiki, kita perkaya dengan namanya metode SGTF ini," kata Budi.
Kepada para petugas, Budi juga mengarahkan agar pengurutan genom tidak dilakukan secara menyeluruh atau whole genome sequencing (WGS) karena bisa memperpanjang proses penyelesaian. "WGS itu nanti jadi panjang, ada 30 ribu basa atau virus gene yang kita harus urutkan. Kami ambilnya yang mahkota virusnya saja, itu bisa turun dari 30 ribu ke 3.000 atau 5.000 sekuens dari basanya sehingga kita bisa lebih cepat," ujarnya.
Untuk mempercepat proses penelitian genom sekuensing, tambah Menkes, pihaknya juga menambah 11 unit mesin genom sekuensing untuk didistribusikan di laboratorium di luar Pulau Jawa. Saat ini 12 mesin hanya ada di Jawa dan Sulawesi Selatan. "Saya akan kasih dua di Sumatera Utara, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Papua dan Maluku," katanya.
Dengan penambahan mesin tersebut, ia berharap bisa memangkas waktu penyelesaian pengurutan genom di Indonesia. "Kami pastikan bahwa genom sekuensing di 12 laboratorium ini kami percepat waktu prosesnya, yang tadi dua pekan, kami akan tekan ke lima hari, kalau bisa tiga hari," ujar Budi.