Jenderal Dudung, Umpan Radikalisme, dan Pawang 'Macan'
Umat Islam dan TNI punya sejarah manis dalam memberantas komunisme di Indonesia.
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Aad Satria Permadi (Dosen Psikologi Politik dari Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS).
Baru saja dilantik menjadi Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD), Jenderal Dudung Abdurachman langsung membuat kontroversi. Paling tidak ada dua kontroversi yang terekam dalam memori jangka pendek masyarakat: mengangkat Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) Papua sebagai “saudara”, dan ucapan “Tuhan bukan orang Arab”.
Tidak masuk dalam nalar masyarakat, KKB Papua yang sudah banyak membunuh masyarakat Papua, membunuh 27 anggota TNI, dan 9 anggota POLRI, malah diangkat sebagai “saudara”. Amanat Jenderal Dudung pun jelas, bahwa prajurit TNI di Papua harus memiliki mindset “tidak berperang” ketika berhadapan dengan KKB Papua.
Di lain pihak, Jenderal Dudung sangat tegas terhadap Front Pembela Islam (FPI). Balihonya diturunkan dengan pasukan bersenjata lengkap, seperti mau perang saja. Padahal FPI tidak bersenjata api dan tidak menyatakan perang kepada NKRI, seperti yang dilakukan KKB Papua.
Bahkan sebelum menjadi KSAD, Jenderal Dudung juga beberapa kali melontarkan pernyataan bernada ancaman terhadap FPI dan Habib Rizieq Shihab. Banyak pihak yang merasa bahwa sikap Jenderal Dudung terhadap KKB dan FPI tersebut aneh, bahkan terkesan tidak logis. Seharunya Jenderal Dudung lebih keras kepada KKB Papua ketimbang dengan FPI.
Kontroversi yang kedua adalah ucapan “Tuhan bukan orang Arab”. Secara verbatim, tidak ada salahnya pernyataan Jenderal Dudung. Ya, memang Tuhan bukan manusia, dan memang bukan orang dari Arab. Tapi, pernyataan itu mempunyai nuansa penghinaan dan rasisme bagi banyak kalangan.
Kita dapat melihat tanggapan warganet dan tokoh-tokoh masyarakat yang merespons pernyataan tersebut dengan kesan yang sinis. Umumnya, mereka beranggapan bahwa pernyataan Jenderal Dudung adalah penghinaan terhadap agama. Ada juga yang menambahkan, bahwa penyandingan “Tuhan” dengan “Orang Arab”, adalah bentuk derogasi terhadap orang Arab. Maka muncullah kesan bahwa Jenderal Dudung terjangkit Islamofobia.
Kita tidak tahu, apa niat Jendral Dudung sebenarnya. Tapi begitulah psikologi masyarakat, ucapan tidak dipahami dari verbatimnya, namun dari konteks yang meliputi ucapan tersebut. Body language, relasi kuasa (Jenderal Dudung anak buah siapa? Menantu Siapa? Dan lain-lain), sampai pada konteks geopolitik.
Asumsi Strategi “Umpan” Radikalisme
Dalam perbincangan yang lebih akademis, banyak juga yang menafsirkan bahwa ucapan Jenderal Dudung itu bukan wujud jiwa yang membenci Islam. Itu adalah salah satu langkah dalam memetakan sosiologi radikalisme di Indonesia. Saya mengasumsikan juga demikian.
Beberapa kawan ada yang bersaksi bahwa Jenderal Dudung adalah sosok yang religius. Beliau Islam yang taat. Beberapa kawan menceritakan bahwa Jenderal Dudung adalah sedikit dari Jenderal-jenderal muslim yang mewajibkan anak buahnya shalat tahajud.
Adapun ucapan-ucapan beliau yang kesannya memusuhi kelompok Islam, adalah strategi “memberi umpan”. Jika ingin menangkap kucing, maka jangan dikejar. Namun, beri umpan dengan makanan yang disukai kucing (misalnya daging). Nanti kucing akan berkumpul memakan umpan tersebut, sehingga lebih mudah ditangkap.
Begitu pula dengan pemetaan radikalisme. Untuk mengetahui siapa-siapa saja yang radikal, atau punya potensi radikal, maka ucapkan sesuatu yang menyinggung keyakinan orang-orang radikal. Atau jelek-jelekkan tokoh-tokoh yang dianggap radikal. Maka siapa-siapa saja yang menyambut “umpan” tersebut dengan “keras”, dapat didata sebagai orang radikal, atau minimal punya potensi radikal. Sedangkan mereka yang menyambut “umpan” dengan sorak-sorai, dapat dikelompokkan sebagai pendukung deradikalisasi.
Analisa tersebut lebih akademis karena strategi tersebut sudah biasa dilakukan oleh intelijen-intelijen di seluruh dunia dalam rangka menanggulangi radikalisme. Namun, permasalahannya adalah, kadang kita hanya ingin menangkap kucing, tapi yang muncul adalah Felidae lain yang juga doyan daging (Singa, macan, Karakal, Harimau, Jaguar, dan lain-lain).
Lebih sial lagi, pendata radikalisme tidak paham perbedaan spesies dalam familia Felidae tersebut. Semua Felidaeyang muncul merespon daging, dianggap radikal semua. Padahal secara konsep teoretis, yang radikal hanya kucing. Namun praktiknya, Harimau, Singa, sampai Jaguar juga dianggap radikal karena doyan daging. Begitu kira-kira silang sengkarut penangan radikalisme di Indonesia. Salah target karena umpan tidak spesifik untuk kucing radikal.
Salah Kaprah Mindset Eropa dan Amerika
Tidak bisa ditutup-tutupi, bahwa frasa "radikalisme" dan "terorisme”" selalu dikait-kaitkan dengan umat Islam. Kalau ada orang yang dituduh radikal atau teroris, hampir selalu beragama Islam, dan lucunya menampakkan simbol-simbol yang identik secara sosiologis dengan umat Islam.
Andai dianggap bahwa sebagian kecil orang-orang radikal dan teroris, bersembunyi dalam kelompok umat Islam Indonesia yang hampir 200 juta itu, maka bagaimana memancing mereka keluar? Kadang ini yang jadi problem!
Di negara lain, kadang intelijen memancing teroris keluar dari persembunyiannya dengan menghina Nabi Muhammad salallahu ‘alaihi wa sallam. Atau merendahkan aqidah Islam. Siapa saja yang merespons keras akan dicatat sebagai orang radikal atau punya potensi radikal. Sehingga mereka dapat diawasi sejak dini.
Di negara-negara Eropa dan Amerika, sah-sah saja orang menghina Yesus. Atas nama kebebasan berpendapat, orang-orang yang protes dengan penghinaaan terhadap Yesus akan dicap sebagai intoleran, tidak demokratis, dan mungkin melanggar HAM. Banyak iklan dan film-film pendek di eropa yang menjadikan Yesus sebagai bahan olok-olok.
Masyarakatnya tidak bereaksi dengan keras. Biasa saja, karena kebebasan berekpresi lebih dominan daripada penghormatan terhadap kesucian Agama. Orang-orang Eropa dan Amerika yang hidup dalam budaya disrespect terhadap agama inilah yang menjadi konsultan pemberantasan terorisme di seluruh dunia. Kalau di Indonesia, sebut saja nama Sydney Jones, yang sering dijadikan referensi dalam penanganan radikalisme di Indonesia.
Saya sebenarnya tidak berharap, Indonesia berkonsultasi dengan konsultan-konsultan Eropa-Amerika tersebut dalam penaganan radikalisme dan terorisme. Mindset mereka sejak awal memang disrespect terhadap kesucian agama. Namun saya khawatir, jangan-jangan, Jenderal Dudung dan beberpaa pejabat Negara ini sedang melakukan “umpan” radikalisme.
Dan cara-cara ini berasal dari konsultan Eropa dan Amerika yang tidak paham tentang bagaimana masyarakat Indonesia ini sangat menghormati agamanya, baik yang radikal maupun yang moderat. Fanatik terhadap agama, yang menjadi indikator radikalisme bagi Eropa dan Amerika, sebenarnya bukan indikator radikalisme di Indonesia.
Jika Agama dihina, yang melawan bukan hanya orang-orang radikal, bahkan orang yang moderat pun akan merespons dengan keras. Seperti analogi mengumpan kucing, tapi yang muncul bukan hanya kucing, tapi semua familia felidae. Lalu, apakah semua yang muncul itu akan dianggap radikal?
Renggangnya Hubungan TNI-Rakyat dan Potensi Perampokan Neo-Kolonialisme
Andaikata, sekali lagi andaikata, Jenderal Dudung sedang melempar “umpan” radikalisme yang nuansanya ala Eropa dan Amerika ini, saya sarankan untuk dihentikan. Menyinggung kesucian agama melukai orang-orang beragama di Indonesia. Baik yang radikal atau yang moderat. Jika “umpan” itu dilontarkan oleh petinggi TNI, maka dampaknya cukup merugikan Indonesia di masa depan. Apa Jenderal Dudung tidak tahu, sebelum Jenderal menjabat KSAD, umat Islam sangat mencintai TNI. Cinta tersebut muncul karena adanya gejala-gejala munculnya neo-komuniasme.
Umat Islam dan TNI (khususnya Angkatan Darat) punya sejarah manis dalam memberantas komunisme di Indonesia. Bersatunya TNI dan masyarakat, adalah benteng pertahanan yang kokoh. Sulit bagi neo-kolonialisme untuk menguasai Indoensia jika TNI manunggal dengan umat Islam yang mayoritas di Indonesia. Ucapan Jenderal Dudung berpotensi merenggangkan hubungan manis tersebut. Artinya, jika hubungan TNI dan umat Islam renggang, maka kekuatan neo-kolonialisme menjadi lebih digdaya untuk menguasai Indonesia.
Indonesia adalah negeri kaya raya, yang dijaga mayoritas umat Islam. Kalau diibaratkan, Indonesia itu bagaikan rumah mewah yang dijaga oleh macan-macan perkasa. Macan-macan ini punya sejarah panjang memerdekakan Indonesia dengan jihad melawan penjajah. Namun keadaannya saat ini, ada perampok yang memprovokasi pemiliki rumah bahwa macan-macan itu berbahaya.
Macan-macan itu berpotensi melukai pemilik rumah. Oleh karenanya, perampok yang menyamar jadi konsultan tersebut memberi saran agar mengusir macan-macan tersebut. Boleh juga dipenjara atau dibunuh, demi keselamatan nyawa pemilik rumah. Keputusan semuanya ada pada pemilik rumah, apakah mau mengikuti saran perampok-perampok itu, atau tetap merawat macan agar rumahnya aman.
Pawang "Macan"
Bangsa Indonesia secara budaya adalah bangsa pemberani. Umat Islamnya, yang moyoritas itu, ratusan tahun sudah terbukti berjihad mengusir penjajah. Hampir setiap suku di Indonesia memiliki tarian perang, yang menandakan keberanian yang tertanam dalam dada-dada nenek moyang kita.
Mohon dimaklumi, manusia pemberani itu ibarat macan. Aumannya keras kepada orang-orang yang zalim kepadanya. Tapi mudah lulut kepada pawang yang menyayanginya. Bahkan macan itu sedia menyerahkan jiwa raganya untuk menjaga pawang yang menyayanginya itu.
Melihat fenomena kritisisme yang nuansanya keras kepada pemerintah, jangan mudah menganggapnya sebagai fenomena radikalisme, apalagi terorisme. Jangan pakai kacamata eropa dan Amerika untuk menangani mereka. Jangan jadikan metode religious disrespect yang digunakan barat untuk memancing radikalis keluar kandang. Bisa jadi yang keluar bukan radikalis dan teroris, tapi macan-macan yang tersinggung dengan "umpan" tersebut.
Indonesia itu sarang macan. Pemimpinnya harus memiliki karakter "pawang macan". Mampu menaklukkan jiwa-jiwa pemberani dengan pemenuhan pangan, pendidikan, dan keadilan. Pemimpin yang punya karakter seperti ini, akan dijaga, dibela, dan dicintai macan-macan Indonesia. Dan saya doakan Pak Jokowi, dan seluruh pimpinan TNI, termasuk Jenderal Dudung, adalah “"pawang-pawang macan" tersebut.