Omicron Jadi Ancaman ''Gagalnya'' Vaksinasi Lawan Pandemi

Vaksinasi yang belum merata ke negara berkembang jadi penyebab utama virus bermutasi

AP/Alvaro Barrientos
Seorang pria menerima suntikan vaksin Moderna, bagian dari kampanye vaksinasi COVID-19, di San Sebastian, Spanyol utara, (ilustrasi).
Rep: Mgrol131 Red: Gita Amanda

REPUBLIKA.CO.ID, Munculnya varian baru virus Omicron beberapa pekan ke belakang membuat khawatir hampir seluruh negara di dunia. Vaksinasi yang belum merata ke negara-negara berkembang di dunia, digadang-gadang menjadi penyebab utamanya.

Seperti dilansir dari The Guardian, para ahli mengatakan bahwa keterjangkauan vaksinasi Covid-19 kepada negara-negara berkembang di seluruh dunia mejadi hal yang sangat penting dalam mencegah varian-varian baru terus bermunculan. Namun, datangnya virus Omicron menjadi salah satu bukti kegagalan pemerataan vaksinasi.

Perkembangbiakan yang sempurna virus yang berasal dari Afrika Selatan ini harus menjadi peringatan bagi negara-negara kaya. Padahal sejak musim panas lalu, para ilmuwan dan pakar kesehatan global telah menyerukan untuk seluruh dunia, agar dapat mencari solusi atas ketidaksetaraan vaksin antara negara kaya dan miskin. Karena bila semakin lama dan banyaknya negara di dunia yang belum tervaksinasi, maka akan besar kemungkinan pula virus-virus bermutasi secara signifikan.

Ancaman terhadap gagalnya upaya mengakhiri pandemi dikatakan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), karena virus Omicron ini bermutasi sangat pesat dan berkemungkinan untuk tersebarnya secara Internasional. Bahkan pada beberapa tempat, memiliki risiko infeksi yang melonjak sangat tinggi dan berpotensi terhadap konsekuensi yang lebih parah.

Baca Juga



Direktur Eksekutif UNAids dan Ketua Aliansi Vaksin Rakyat (PVA), Winnie Byanyima, mengatakan bahwa adanya Omicron menjadi bukti gagalnya pemerataan vaksinasi di dunia, serta menjadi peringatan bagi kita semua. “Bisnis seperti biasa telah menghasilkan keuntungan besar bagi perusahaan farmasi, tetapi banyak orang yang tidak divaksinasi berarti virus ini terus bermutasi. Ini adalah definisi kegilaan untuk terus melakukan hal yang sama dan mengharapkan hasil yang berbeda. Kita perlu menekan reset,” kata Byanyima.

Aliansi Vaksin Rakyat merilis angka baru yang menunjukkan bahwa jumlah booster atau vaksinasi ketiga yang diberikan di Inggris hampir sama dengan jumlah total orang yang divaksinasi penuh di semua negara termiskin di dunia. Negara Inggris melalui menterinya mengumumkan perluasan program vaksin booster yang signifikan untuk setiap orang dewasa di negara ini.

Hal ini dibuktikan dengan pencapaian vaksinasi booster yang menyentuh angka 20 juta jiwa di Inggris. Berbanding terbalik dengan perolehan vaksinasi negara yang terklasifikasikan negara berpenghasilan rendah, yang mana hanya 20 juta orang di 27 negara tersebut yang telah mendapatkan vaksinasi dosis kedua.

“Dengan ancaman baru varian Omicron, jelas bahwa kita tidak bisa hanya mendorong jalan keluar dari pandemi sambil meninggalkan banyak negara berkembang di belakang. Kecuali semua negara divaksinasi sesegera mungkin, kita bisa melihat gelombang demi gelombang varian,” kata Manajer Kebijakan Kesehatan di Oxfam, Anna Marriot.

Anna juga menambahkan bahwa sampai saat ini, negara-negara di dunia belum dapat memperbaiki kesalahan dalam 21 bulan terakhir dalam proses vaksinasi global. Tetapi sekarang yang dibutuhkan ialah peran negara-negara kaya dalam memetakan langkah kedepannya untuk bergerak dan mendesak perusahaan farmasi mulai berbagi ilmu pengetahuan dan teknologinya ke produsen-produsen yang memenuhi syarat di seluruh dunia.

Mantan Perdana Menteri Inggris Tony Blair, kepada BBC Radio 4 The World This Weekend, mengungkapkan bahwa kegagalan dalam mengatur vaksinasi massal secara global saat ini menjadi masalah yang sangat besar dalam menghadapi krisis.

“Yah, selalu sangat jelas bahwa jika Anda tidak memvaksinasi dunia, ini adalah virus yang dapat bermutasi. Jika Anda memiliki populasi besar yang tidak divaksinasi, kemungkinan besar akan bermutasi lebih cepat dan lebih jauh,” kata Tony Blair.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler