Revisi UU Migas Bantu Penuhi Target Lifting

UU Migas diharapkan memperkuat peran dan fungsi SKK Migas.

Tim Infografis Republika.co.id
Realisasi lifting migas Indonesia. Revisi Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi (RUU Migas) disebut dapat membantu Satuan Kerja Khusus (SKK) Migas memenuhi target lifting 1 juta barel per hari.
Rep: Intan Pratiwi Red: Friska Yolandha

REPUBLIKA.CO.ID, Jakarta -- Revisi Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi (RUU Migas) disebut dapat membantu Satuan Kerja Khusus (SKK) Migas memenuhi target lifting 1 juta barel per hari. Kepala Divisi Hukum SKK Migas, Didik Sasono Setyadi mengungkapkan,pihaknya tidak mungkin bekerja sendiri dalam pemenuhan target lifting tersebut.

Baca Juga


“Untuk bisa mencapai target yang sedemikian tentu saja butuh dukungan-dukungan. Apa itu dukungan? Yaitu bagaimana perizinan-perizinan kita itu dipermudah, bagaimana fiscal term kita juga lebih menarik dan kebetulan yang terkait dengan perizinan, yang terkait dengan fiscal term atau hitung-hitungan bagi hasilnya, itu yang menentukan bukan SKK Migas sendiri,” ungkapnya dalam Focus Group Discussion ‘Masa Depan Industri Hulu Migas di Indonesia dalam menghadapi Transisi Energi’ yang digelar Pandawa Nusantara di Hotel Sultan, Jakarta, Selasa (7/12) . 

Didik menjelaskan, kebutuhan migas dalam negeri ke depannya akan semakin membesar. Jika SKK Migas yang memiliki tugas mengelola migas di Indonesia hanya mengikuti produksi secara natural yang mengalami penurunan tanpa melakukan upaya-upaya luar biasa, maka untuk bisa mengisi kebutuhan bauran energi dari migas pada 2030 atau 2050 mendatang pasti akan semakin kesulitan.

“Artinya impor kita akan semakin besar. Karena itu maka ketika menetapkan target 1 juta barel per hari, ya apakah target itu terlalu tinggi, target itu kadang dicibir tidak realistis, saya kira memang kebutuhan kita juga memang tidak realistis kok. Kebutuhan kita ke depan itu memang seperti itu, dan itulah yang mengharuskan kita untuk berani mencapai target yang sedemikian,” ujarnya.

Sehingga, Didik mengatakan, jika SKK Migas di dalam rangka untuk mencapai 1 juta barel itu berusaha sendiri tanpa ada dukungan dari Kementerian ataupun dari Lembaga-Lembaga yang lain, tentu saja tidak mungkin.

“Nah inilah maka harapannya nanti supaya hal ini bisa dituangkan dalam UU Migas yang baru, supaya target kita bisa terpenuhi,” katanya.

Selain itu, Didik mengungkapkan, UU Migas yang baru juga diharapkan dapat memperkuat peran serta fungsi SKK Migas ke depannya. Saat ini, investasi di sektor industri migas masih sangat rumit. Sebab, terkait perizinan saja masih tidak satu pintu. Untuk itulah, SKK Migas harus dijadikan sebagai lembaga satu-satunya yang mengatur dari hulu sampai hilir.

“Persoalan hulu migas ini sistemik, kelembagaan SKK Migas itu jadi bagian yang akan diselesaikan. Kalau semua sepakat hulu migas vital, maka lembaga yang dibentuk ini harus lembaga yang mempunyai kekuatan yang cukup,” ungkap Didik.

Saat ini, Didik menjelaskan, jika ada investor yang ingin berinvestasi di sektor industri migas, maka harus ikut tender terlebih dahulu di Kementerian ESDM. Kemudian, terkait kebijakan fiskal yang menentukan adalah Kementerian Keuangan. Sementara terkait perizinan, yang menentukan adalah lembaga atau instansi terkait lainnya lagi.

“Untuk investasi itu harus urusan dengan berbagai kewenanan kelembagaan sehingga orang bingung. Kenapa tidak satu pintu seluruh urusan?. Dalam kewenangan kelembagaan cukup berhubungan dengan satu lembaga,” ujarnya.

Didik pun meminta kepada semua pihak untuk tidak lagi mempersepsikan bahwa mengatur industri migas itu hanya dipandang dari sisi perebutan kewenangan saja, tapi harus dilihat dari sisi secara bersama-sama.

“Bicara kelembagaan itu betul oleh pemerintah secara menyeluruh diberi kewenangan untuk melaksanakan kewenangan dan mewakili kepentingan pemerintah secara bersama,” katanya.

Seperti diketahui, DPR RI sebelumnya menargetkan revisi RUU Migas bisa terealisasi pada akhir 2022. Revisi beleid ini akan dikejar bersamaan dengan RUU Energi Baru Terbarukan (EBT).

RUU Migas sebelumnya tercatat masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas pada 2018. Namun, RUU itu terbengkalai hingga sekarang. Komisi VII DPR melihat pandemi COVID-19 menjadi penyebab revisi UU Migas belum dilanjutkan pembahasannya.

Setidaknya ada tiga poin krusial dalam revisi tersebut, yakni mengenai pembentukan Badan Usaha Khusus (BUK) yang dikabarkan akan menggantikan peran SKK Migas, contract regime dan hak partisipasi BUMD mengelola blok migas dengan skema Participating Interest (PI) sebesar 10 persen.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler