Rusia Memveto Resolusi DK PBB Soal Perubahan Iklim
Rusia memveto resolusi PBB yang mengaitkan perubahan iklim dengan konflik negara
REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Rusia memveto resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) yang pertama dari jenisnya dalam menyebut perubahan iklim sebagai ancaman bagi perdamaian dan keamanan internasional, Senin (13/12). Resolusi tersebut dipelopori oleh Irlandia dan Niger.
Sekitar 113 dari 193 negara anggota PBB mendukungnya, termasuk 12 dari 15 anggota dewan. Namun India dan pemilik hak veto Rusia memilih tidak, sementara China abstain.
Duta Besar Rusia Vassily Nebenzia mengeluh bahwa resolusi yang diusulkan akan mengubah masalah ilmiah dan ekonomi menjadi pertanyaan yang dipolitisasi. Kondisi itu bisa mengalihkan perhatian DK PBB dari sumber konflik asli di berbagai tempat dan memberi dewan itu dalih untuk campur tangan dalam negara mana pun di planet ini. "Pendekatan ini akan menjadi bom waktu," kata Nebenzia.
India dan China mempertanyakan gagasan untuk mengaitkan konflik dengan iklim. Mereka memperkirakan masalah untuk komitmen Glasgow jika badan yang dapat menjatuhkan sanksi dan mengirim pasukan penjaga perdamaian ini mulai mempertimbangkan lebih banyak.
"Apa yang perlu dilakukan Dewan Keamanan bukanlah pertunjukan politik," kata Duta Besar China Zhang Jun.
Utusan negara yang tidak mendukung mengatakan masalah tersebut harus tetap dengan kelompok-kelompok PBB yang lebih luas, seperti Konvensi Kerangka Kerja tentang Perubahan Iklim. Menambahkan perubahan iklim ke lingkup DK dinilai hanya akan memperdalam perpecahan global yang ditunjukkan oleh pembicaraan iklim bulan lalu di Glasgow, Skotlandia.
Proposal tersebut menyerukan memasukkan informasi tentang implikasi keamanan dari perubahan iklim ke dalam strategi DK PBB untuk mengelola konflik dan ke dalam operasi pemeliharaan perdamaian dan misi politik. Langkah itu juga meminta Sekretaris Jenderal PBB untuk menjadikan risiko keamanan terkait iklim sebagai komponen utama dari upaya pencegahan konflik dan melaporkan cara mengatasi risiko tersebut di titik-titik tertentu.
DK PBB terkadang membahas implikasi keamanan dari perubahan iklim sejak 2007. Sedangkan Majelis Umum yang lebih luas menyatakan sangat prihatin tentang masalah ini pada 2009.
Sekretaris Jenderal Antonio Guterres juga telah membunyikan alarm. Dia mengatakan kepada DK pekan lalu bahwa efek perubahan iklim melipatgandakan konflik dan memperburuk kerapuhan.
DK telah mengeluarkan resolusi yang menyebutkan efek destabilisasi pemanasan di tempat-tempat tertentu, seperti berbagai negara Afrika dan Irak. Namun, resolusi terbaru ini akan menjadi yang pertama ditujukan untuk bahaya keamanan terkait iklim sebagai masalahnya sendiri.
Badai yang lebih kuat, air laut yang naik, banjir dan kekeringan yang lebih sering, serta efek pemanasan lainnya dapat mengobarkan ketegangan dan konflik sosial. "Peristiwa itu berpotensi menimbulkan risiko utama bagi perdamaian, keamanan, dan stabilitas global," demikian bunyi resolusi yang diusulkan.
Pendukung resolusi mengatakan itu mewakili langkah sederhana dan masuk akal untuk mengambil masalah yang penting secara eksistensial. "Hari ini adalah kesempatan bagi dewan untuk mengakui, untuk pertama kalinya, realitas dunia tempat kita hidup dan bahwa perubahan iklim meningkatkan ketidakamanan dan ketidakstabilan,” kata Duta Besar Irlandia Geraldine Byrne Nason.
"Sebaliknya, kami telah melewatkan kesempatan untuk bertindak, dan kami berpaling dari realitas dunia tempat kami tinggal," kata Nason.
Para pendukung berjanji untuk mengawasi DK pada risiko iklim. "Kekuatan veto dapat memblokir persetujuan sebuah teks, tetapi itu tidak dapat menyembunyikan kenyataan kita," kata duta besar Niger, Abdou Abarry.