Rusia Ancam Kerahkan Rudal Nuklir Jarak Menengah ke Eropa

Rusia mengancam akan kerahkan rudal nuklir jarak menengah yang dilarang di Eropa

EPA
Sistem misil S-400 milik Rusia. Rusia mengancam akan kerahkan rudal nuklir jarak menengah yang dilarang di Eropa. Ilustrasi.
Rep: Fergi Nadira Red: Christiyaningsih

REPUBLIKA.CO.ID, MOSKOW - Rusia mengancam mungkin terpaksa akan mengerahkan rudal nuklir jarak menengah di Eropa. Moskow harus mengambil langkah tegas jika NATO menolak untuk terlibat dalam mencegah eskalasi.

Peringatan Wakil Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Ryabkov itu meningkatkan risiko penumpukan senjata baru. Ini pun bakal menjadi ketegangan Timur-Barat yang semakin meruncing dan menjadi paling buruk sejak Perang Dingin berakhir tiga dekade lalu.

Ryabkov mengatakan negaranya akan terpaksa bertindak jika Barat menolak untuk bergabung dalam moratorium kekuatan nuklir jarak menengah (INF) di Eropa. INF merupakan bagian dari paket jaminan keamanan yang dicari Rusia sebagai harga untuk meredakan krisis di Ukraina.

"Kurangnya kemajuan menuju solusi politik dan diplomatik akan membuat Rusia menanggapi dengan cara militer, dengan teknologi militer," ujar Ryabkov kepada kantor berita Rusia RIA.

"Artinya, ini akan menjadi konfrontasi, ini akan menjadi putaran berikutnya," katanya merujuk pada potensi penyebaran rudal oleh Rusia.

Senjata nuklir jarak menengah yang memiliki jangkauan 500 hingga 5.500 kilometer dilarang di Eropa berdasarkan perjanjian 1987 antara pemimpin Soviet saat itu, Mikhail Gorbachev, dan Presiden AS Ronald Reagan. Perjanjian kala itu dipuji sebagai pelonggaran besar ketegangan Perang Dingin. Pada 1991, kedua belah pihak telah menghancurkan hampir 2.700 senjata nuklir mereka.

Baca Juga


Namun pada 2019 Washington menarik diri dari pakta tersebut setelah mengeluh selama bertahun-tahun atas dugaan pelanggaran seputar pengembangan Rusia dari rudal jelajah yang diluncurkan dari darat. Ini disebut oleh Moskow 9M729 dan NATO sebut sebagai "Screwdriver".

Akan tetapi menurut pakar kebijakan luar negeri Rusia dan kontrol senjata di Universitas Innsbruck Austria, Gerhard Mangott, jika NATO benar bahwa Rusia telah menerapkan sistem ini di bagian Eropa negara itu, di sebelah barat Pegunungan Ural, maka ancaman Ryabkov adalah ancaman kosong.

Namun jika penolakan Rusia itu benar, maka peringatan Moskow adalah sinyal terakhir kepada NATO bahwa mereka harus mengadakan pembicaraan dengan Rusia tentang perjanjian pembekuan-pembekuan. "Jika NATO tetap pada posisi untuk tidak bernegosiasi tentang kesepakatan, maka kita pasti akan melihat Rusia mengerahkan rudal Screwdriver di perbatasan paling baratnya," katanya.

Dalam beberapa hari terakhir, Ryabkov telah muncul sebagai salah satu utusan utama Moskow ketika Presiden Vladimir Putin mendesak jaminan keamanan Barat sambil menghadapi peringatan dari Amerika Serikat dan sekutunya untuk mundur dari kemungkinan invasi ke Ukraina.

Dia turut mengulangi perbandingan yang dia buat antara ketegangan saat ini dan krisis rudal Kuba 1962, yang membawa Amerika Serikat dan Uni Soviet ke ambang perang nuklir. Ryabkov mengatakan terdapat indikasi tidak langsung bahwa NATO bergerak lebih dekat untuk menyebarkan kembali rudal jarak menengah, termasuk pemulihannya dari Komando Artileri ke-56 yang mengoperasikan rudal Pershing berkemampuan nuklir selama Perang Dingin.

NATO mengatakan tidak akan ada rudal baru AS di Eropa dan siap untuk menghalangi rudal baru Rusia dengan respons terukur yang hanya akan melibatkan senjata konvensional. Namun Ryabkov mengatakan Rusia kurang percaya pada aliansi tersebut.

"Mereka tidak mengizinkan diri mereka melakukan apa pun yang entah bagaimana dapat meningkatkan keamanan kita. Mereka percaya bahwa mereka dapat bertindak sesuai kebutuhan, untuk keuntungan mereka, dan kita hanya harus menelan semua ini dan menghadapinya. Ini tidak akan berlanjut," katanya.

sumber : Reuters
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler