Dua Skenario Vaksinasi Booster Tahun Depan

Semua vaksin booster harus mendapatkan izin dari WHO dan BPOM terlebih dahulu.

AP/Ben Gray/FR171789 AP
Sebuah botol vaksin COVID-19 Pfizer-BioNTech. Pemerintah akan memulai vaksinasi booster tahun 2022 mendatang.
Rep: Febrianto Adi Saputro Red: Friska Yolandha

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah akan memulai vaksinasi booster tahun 2022 mendatang. Pemerintah menyiapkan dua skenario terkait vaksinasi booster tahun depan.

Baca Juga


"Untuk vaksinasi untuk lansia dan PBI (penerima bantuan iuran) nonlansia itu akan ditanggung oleh negara. Sedangkan untuk yang mandiri dan nonlansia itu akan kita buka agar perusahaan-perusahaan farmasi bisa impor vaksinnya dan langsung menjualnya ke masyarakat sehingga terjadi keseimbangan di pasar dan akses masyarakat pilihannya akan lebih banyak," kata Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, Selasa (14/12).

Budi menjelaskan, untuk vaksinasi booster yang menjadi beban APBN akan diberikan kepada 83,1 juta orang atau jumlah vaksin yang dibutuhkan sebanyak 92,4 juta dosis vaksin. Sedangkan, vaksin booster non-APBN akan diberikan ke 125 juta orang atau sekitar 139 juta dosis vaksin. 

Budi mengungkapkan, vaksinasi booster akan dimulai pada Januari 2022. Semua vaksin booster harus mendapatkan izin dari WHO dan BPOM terlebih dahulu.

"Vaksin booster ini juga diharapkan di-review oleh ITAGI (Indonesian Technal Advisory Group on Immunization) dan ITAGI nanti akan bisa memberikan rekomendasi, yang kita harapkan bisa keluar sebelumnya," katanya. 

Saat ini proses perizinan di WHO, BPOM, dan ITAGI masih berjalan. Sebab sampai saat ini penelitian terhadap booster masih terus dilakukan. 

"Kalau ada misalnya vaksin-vaksin ingin masuk sebagai booster ya mereka harus melakukan research atau uji klinis dan mendapatkan approval dari BPOM, dan WHO serta direkomendasikan oleh ITAGI," ujarnya. 

Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Penny Kusumastuti Lukito mengatakan bahwa pihaknya tengah melakukan uji terhadap tiga vaksin yang bisa digunakan sebagai booster untuk disuntikkan pada Januari 2022 mendatang. Ketiga vaksin tersebut, yaitu Pfizer, AstraZeneca, dan Sinovac.

"Sebagai vaksin booster Covid-19 secara homologus juga masih berproses pada tiga vaksin yang sudah berproses. Artinya, menggunakan data dari uji klinis yang digunakan dari luar negeri. Pertama, vaksin Pfizer ini sudah berproses untuk mendapatkan emergency use authorization sebagai booster homologus untuk usia 18 tahun ke atas. Kedua adalah vaksin AstraZeneca juga untuk booster usia 18 tahun ke atas. Kemudian yang ketiga Sinovac vaksin Coronavac untuk booster homologus untuk usia 18 tahun ke atas juga," kata Penny di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa.

Homolog artinya pemberian dosis booster dengan vaksin yang sama yang digunakan pada vaksinasi primer. Sedangkan, heterolog pemberian dosis booster dengan vaksin yang berbeda yang digunakan pada vaksinasi primer. 

Sementara, Penny mengungkapkan, vaksin Sinopharm masih dalam tahap praregistrasi. Sinopharm masih membutuhkan waktu agak lama untuk bisa dijadikan booster. 

"Tapi, tiga vaksin itu (Pfizer, AstraZeneca, dan Sinovac) juga sudah berproses mudah-mudahan bisa kita gunakan dalam bulan ini juga, dalam bulan Desember saya kira saya sudah minta untuk segera dikejar, terutama sebetulnya adalah bagaimana melengkapi data yang ada sehingga sebelum rencana pemerintah untuk Januari 2022 kita bisa segera mengeluarkan emergency use authorization pada bulan Desember," katanya.

"Sinopharm juga dalam proses mudah-mudahan juga dalam waktu dekat bisa melengkapi datanya," ujarnya.

Terkait harga vaksin booster, Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi meminta agar tak terlampau tinggi. Ia mendukung dua skema yang ditawarkan pemerintah berupa pemberian gratis dan berbayar asalkan target vaksinasi 2 tahap sudah tuntas.

"Saya kira ini skema yang fair, adil. Asal cakupan vaksin reguler sudah mencapai angka ideal," kata Tulus dalam keterangannya, Ahad (12/12).

Tulus menilai masyarakat penerima layanan BPJS PBI pantas bila digratiskan dalam memperoleh vaksin Covid-19. Adapun kelompok masyarakat non-BPJS PBI bisa diganjar tarif dengan nominal tertentu ketika ingin mendapat booster.

"Kelompok rentan/penerima BPJS PBI digratiskan. Yang lain bisa berbayar," ujar Tulus.

Walau demikian, Tulus menekankan agar tidak ada unsur komersial dalam penentuan tarif booster. Ia mengingatkan supaya harga yang ditetapkan harus dalam batas wajar.

"Harga harus wajar, margin profit maksimal 10 persen," kata Tulus.

Tulus juga berharap pihak penyedia booster vaksin tak memanfaatkan momen ini untuk aji mumpung. "Ingat, pandemi jangan dijadikan upaya untuk menengguk untung ugal-ugalan, tidak etis," ujar Tulus.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler