Pasien Pertama Omicron tak ke Luar Negeri, Lalu Tertular dari Siapa?
Menkes menyatakan belum menemukan transmisi komunitas dari varian Omicron.
REPUBLIKA.CO.ID, oleh Dian Fath Risalah
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin hari ini mengumumkan temuan kasus pertama Covid-19 varian omicron di Indonesia. Kasus pertama omicron ini terdeteksi pada seorang petugas kebersihan berinisial N yang bekerja di RSDC Wisma Atlet Kemayoran, Jakarta.
Budi memastikan, pasien dengan inisial N tersebut tidak memiliki riwayat berpergian ke luar negeri. Sehingga muncul pertanyaan, dari siapa pasien N tertular varian omicron?
"Untuk kasus omicron pada petugas kebersihan di Wisma Atlet ini tidak memiliki history perjalanan luar negeri. Namun, kita belajar dari Hong Kong memang terjadi juga seperti itu. Jadi, karena dia melayani pasien sehingga akibatnya dia tertular," kata Menkes Budi dalam konferensi pers secara daring, Kamis (16/12).
Diketahui, meskipun terkonfirmasi varian omicron, N tidak menunjukkan gejala Covid-19. "Masih sehat tanpa demam, tanpa batuk-batuk, dan saat ini sudah di-RT PCR kembali setelah tiga hari berikutnya dan hasil tes PCR negatif," ujar Budi.
Hingga kini, Budi melanjutkan, pihaknya belum melihat adanya penularan omicron berbasis transmisi komunitas atau penularan komunitas. Meskipun seperti itu, Kemenkes RI terus menguatkan whole genome sequencing (WGS) sebagai upaya deteksi varian omicron dengan metode deteksi baru.
"Supaya kalau ada omicron kita bisa tahu lebih cepat dengan penggunaan teknologi reagen PCR SGTF ini," ujar mantan wamen BUMN tersebut.
Selain temuan kasus konfirmasi varian omicron, Kementerian Kesehatan juga mengidentifikasi adanya lima kasus probable omicron. Kelimanya telah dikarantina dan sudah dilakukan pemeriksaan khusus yang sudah dikirimkan Balitbangkes. Hasilnya akan diketahui tiga hari mendatang untuk melihat apakah sampel tersebut positif omicron atau bukan.
“Dengan pemeriksaan khusus SGTF, kita mendeteksi lima kasus probable omicron dua kasus warga Indonesia yang baru balik dari Inggris dan AS. Tiga lainnya WNA dari Tiongkok yang ke Manado yang sekarang dikarantina di Manado,” kata Budi.
Budi mengatakan bahwa penyebaran omicron terbukti sangat cepat. Di Inggris, misalnya, dari 10 kasus/hari saat ini sudah mencapai 70 ribu kasus/hari. Jauh lebih tunggi dari puncak kasus di Indonesia pada Juli di angka 50 ribu kasus/hari.
Terkait dengan temuan ini, Budi mengimbau masyarakat untuk tidak perlu panik dan tetap tenang. Yang terpenting segera melakukan vaksinasi Covid-19, terutama untuk kelompok rentan dan lansia serta tidak perlu bepergian ke luar negeri jika tidak mendesak serta terus menegakkan protokol kesehatan 5M dan memperkuat 3T.
“Kedatangan varian baru dari luar negeri yang kita identifikasi di karantina menunjukkan bahwa sistem pertahanan kita atas kedatangan varian baru cukup baik, perlu kita perkuat. Jadi, wajar kalau harus stay 10 hari di karantina. Tujuannya bukan untuk mempersulit orang yang datang, melainkan melindungi seluruh masyarakat Indonesia,” kata Budi.
Berbeda dengan Menkes, ahli virologi Universitas Udayana I Gusti Ngurah Kade Mahardika meyakini sudah terjadinya transmisi komunitas varian omicron di Indonesia.
"Saya yakin sudah terjadi transmisi komunitas dan saya lihat tidak sekali saja (varian omicron) masuk ke Indonesia. Ada kemungkinan multiple introduction," kata Mahardika kepada Republika, Kamis (16/12).
Menurut Mahardika, saat ini cara yang dilakukan oleh pemerintah, yakni pemantauan atau pemonitoran terhadap mutasi virus SARS-CoV-2 penyebab Covid-19 dengan WGS tidaklah efektif. Hal itu karena lamanya durasi waktu yang dibutuhkan untuk sekadar mengetahui varian apa saja yang terdeteksi.
"Waktu yang diperlukan dari sampel diambil sampai sequence 14 hari. Dia (N) pun sudah hampir 10 hari. Artinya, virusnya sudah lebih itu sebelum ketahuan. Nah, apakah yang bersangkutan (N) sudah sempat menulari? Jadi, menurut saya, virus itu sudah menular di komunitas," katanya.
Ia pun memperingatkan adanya puncak gunung es pada penyakit menular, yakni apa yang terlihat saat ini hanyalah bagian kecil dari yang tidak terlihat. Karena, masih banyak hal yang belum diketahui mengenai virus yang menular dengan cepat tersebut.
"Asumsi para ahli ada kasus yang belum terlihat," katanya menegaskan.
Pakar epidemiologi Griffith University Australia, dr Dicky Budiman, meminta masyarakat tidak perlu panik ihwal varian omicron yang telah masuk ke Indonesia. Menurutnya, saat ini yang harus dilakukan ialah keseriusan merespons situasi.
"Tidak usah terkejut, tidak usah panik, tidak usah kita juga berlebihan menyikapi ini. Tapi, yang perlu dilakukan ialah keseriusan. Keseriusan merespons situasi omicron ini. Saya melihat dunia salah persepsi atau misinterpretasi terhadap data awalnya karena tidak semua paham epidemiologi," kata Dicky saat dikonfirmasi, Kamis (16/12).
Dicky menekankan dalam menghadapi varian omicron ini penanganannya harus sangat serius karena situasi ancamannya bisa melebihi delta. Terlebih, yang terkonfirmasi varian omicron adalah pekerja di hotel karantina atau Wisma Atlet.
"Kalau ini tak dideteksi pada pekerja di hotel karantina berarti besar kemungkinan yang menjalani karantina itu ada lebih dari satu yang terpapar (omicron) luar biasa cepat sekali," ujarnya.
Dari data terakhir, Dicky melanjutkan, menunjukkan bahwa potensi penularan omicron luar biasa jauh lebih cepat dari varian delta. Varian omicron disebut 70 kali kemampuan replikasi di saluran napas.
"Itu lebih cepat replikasinya dari delta. Sehingga potensi memiliki kemampuan lebih cepat, jadi lebih besar. Karena itu, sudah tepat dilakukan misalnya adanya uji genome sequencing," ujarnya lagi.
Perihal N petugas kebersihan yang terkonfirmasi omicron, menurut Dicky, harus di-tracing lebih lanjut sudah melakukan kontak dengan siapa saja. "Jangan menunggu lama, semua dikarantina yang kontak dengan N dan diperiksa PCR. Karena yang saya khawatirkan pekerja ini bolak-balik dia ke rumahnya. Ini kemungkinan seperti itu," ujar Dicky.
Meskipun, Dicky melanjutkan, potensi menular di komunitas hanyalah masalah waktu. Karena, kemampuan penularan omicron luar biasa jauh lebih cepat.
"Tapi, kabar baiknya adalah bahwa masyarakat kita sekarang lebih banyak yang memiliki imunitas. Entah sudah divaksin maupun sudah terinfeksi, tapi itu bukan berarti aman. Tapi, itu memberi kita lebih banyak waktu mempersiapkan diri," kata dia.