Disayangkan Sikap DPR tak Segera Bahas RUU TPKS 

Perlunya menyegerakan RUU ini menjadi UU, karena marak kasus kekerasan seksual.

STRAITS TIMES
Kekerasan Seksual (ilustrasi)
Rep: Amri Amrullah/Nawir Arsyad Akbar Red: Agus Yulianto

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kelompok masyarakat sipil pemerhati penegakkan hukum dan keadilan menyayangkan sikap DPR yang tidak menyegerakan pembahasan Rancangan Undang Undang (RUU) Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) ditengah semakin maraknya kasus kekerasan seksual yang terjadi di masyarakat. Perwakilan kelompok masyarakat sipil dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) berharap, di masa sidang selanjutnya pada awal tahun depan, RUU TPKS ini sudah dimulai pembahasannya.


Direktur eksekutif ICJR, Erasmus Abraham Todo Napitupulu mengungkapkan pihaknya sangat menyayangkan tidak ditetapkannya RUU TPKS sebagai RUU inisiatif DPR pada rapat paripurna pada Kamis 16 Desember 2021, kemarin. "Kami menyerukan bahwa pembahasan RUU TPKS harus dimulai seketika ketika masa sidang selanjutnya dilakukan," katanya dalam keterangan pers, Jumat (17/12).

Setelah itu, dia berharap, Badan Musyawarah DPR harus segera menentukan apakah RUU TPKS akan dibahas dalam Rapat Komisi/ Rapat Gabungan Komisi/ Rapat Baleg atau Panitia khusus lintas komisi, untuk kemudian dibahas bersama Pemerintah. Perlunya menyegerakan RUU ini menjadi UU, menurut dia, melihat kasus kekerasan seksual yang belakangan diberitakan, dengan berbagai permasalahannya.

Kasus kekerasanpun sangat merugikan korban yang sampai saat ini belum ada solusi. Di antaranya mulai dari sulitnya korban mendapat ruang aman, adanya ancaman kriminalisasi bagi korban, hingga korban dan keluarga korban sulit mendapatkan perlindungan dan pemulihan yang komprehensif. "Karena itu, maka RUU TPKS semakin dibutuhkan," ujarnya.

ICJR bersama IJRS (Indonesia Judicial Research Society) dan PUSKAPA (Pusat Kajian dan Advokasi Perlindungan dan Kualitas Hidup Anak) UI mendorong agar pembahasan RUU TPKS antara DPR dan Pemerintah dilakukan dengan komprehensif. Harapannya bisa menghasilkan peraturan yang melindungi secara menyeluruh korban dan hak-haknya.

"Pembahasan harus dilakukan dengan semangat mengedepankan kepentingan korban kekerasan seksual dan menekankan perlindungan setiap orang menjadi korban kekerasan seksual," terangnya.

Berdasarkan draf RUU TPKS versi Baleg pada 8 Desember 2021, ICJR, IJRS, dan PUSKAPA memberikan apresiasi adanya perkembangan substansi draf yang mengarah pada kemajuan. Mulai dari pengaturan ketentuan tindak pidana yang mengarah pada penghindaran duplikasi pengaturan yang sudah ada, masuknya ketentuan tindak pidana berkaitan dengan pelecehan seksual dalam ranah elektronik, hingga mengakomodir substansi yang sempat hilang mengenai sikap aparat penegak hukum dalam berinteraksi dengan korban kekerasan seksual.

Selanjutnya, akan sangat menyambut baik bila RUU TPKS masuk sebagai RUU inisiatif DPR yang kemudian akan dibahas bersama Pemerintah. Untuk itu ICJR, IJRS, dan PUSKAPA, merekomendasikan beberapa hal. Diantaranya DPR segera tetapkan RUU TPKS menjadi RUU inisiatif DPR. ICJR juga berharap Badan Musyawarah (Bamus) segera menentukan penanggung jawab untuk membahas RUU TPKS di DPR untuk masa sidang berikutnya

"Presiden segera menunjuk penanggung jawab untuk membahas RUU TPKS mewakili pemerintah. Pemerintah pun perlu mengambil sikap dan mempublikasikannya terhadap RUU TPKS. Pembahasan RUU TPKS antara DPR dan Pemerintah harus selalu terbuka, substansial, dan mengakomodasi perbaikan yang diusulkan," paparnya.

Diupayakan awal 2022

Ketua panitia kerja (Panja) rancangan undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) Willy Aditya mengatakan, pihaknya terus berkomunikasi dengan pimpinan DPR terkait penetapan RUU tersebut sebagai inisiatif DPR. Targetnya, RUU TPKS ditetapkan sebagai RUU usulan inisiatif DPR pada rapat paripurna pembukaan masa sidang berikutnya.

"Tentu dari hasil komunikasi informal bersama pimpinan, pimpinan akan mengupayakan itu pada paripurna pembukaan mendatang," ujar Willy kepada wartawan, Kamis (16/12).

Panja RUU TPKS, kata Willy, tetap berpikir positif meskipun RUU tersebut tak ditetapkan dalam rapat paripurna penutupan Masa Persidangan II Tahun Sidang 2021–2022. Pasalnya jika ditetapkan pada masa sidang berikutnya, hal tersebut tak perlu melalui rapat badan musyawarah (Bamus) DPR.

"Kita tetap positif dalam proses bagaimana kebutuhan publik terhadap perlindungan kekerasan seksual ini benar-benar bisa kita realisasikan. Dengan mengesahkan RUU TPKS sebagai hak inisiatif DPR," ujar Willy.

Dia mengaku, optimistis bahwa RUU TPKS dapat segera disahkan menjadi undang-undang dalam waktu dekat. Mengingat, jumlah kasus dan korban kekerasan seksual di Indonesia terus meningkat dalam beberapa waktu terakhir.

"Saya sangat optimis lah ini bisa diparipurnakan. Tentu kami dari Baleg tetap berkomunikasi dengan pimpinan," ujar politikus Partai Nasdem itu.

Ketua DPR Puan Maharani menanggapi batalnya rancangan undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) untuk diparipurnakan menjadi RUU usulan inisiatif DPR. Menurutnya, itu hanya masalah persoalan waktu untuk menetapkan RUU tersebut.

"Ini hanya masalah waktu, karena bahwa tidak ada waktu yg pas atau cukup untuk kemudian dilakukan secara mekanisme yang ada," ujar Puan usai rapat paripurna Penutupan Masa Persidangan II DPR RI Masa Persidangan II Tahun Sidang 2021–2022, Kamis (16/12).

DPR, kata Puan, berusaha mengikuti mekanisme yang ada dalam menetapkan RUU TPKS sebagai inisiatif DPR. Agar nantinya regulasi yang bertujuan untuk melindungi korban kekerasan seksual itu tak dapat digugat di Mahkamah Konstitusi (MK).

"Nanti saat undang-undang itu berlaku jangan kemudian ada yang menyatakan bahwa undang-undang itu melewati atau melampaui mekanisme yang berlaku. Jadi ini soal waktu timing, pimpinan dan DPR tentu saja mendukung dan segera akan segera mengesahkan ini melalui keputusan tingkat 2," ujar Puan.

 

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler