Pendapat Qudamah dan Syafii Hukum Haji Dibiayai Orang Lain
IHRAM.CO.ID, JAKARTA--Istithaah (mampu) menjadi syarat bagi setiap muslim menjalankan ibadah haji. Apakah dapat dikategorikan istithaah, jika seseorang mendapatkan bantuan keuangan dari orang lain untuk menunaikan Haji?
Imam Ibnu Qudamah berpendapat, seseorang yang mendapatkan pemberian dari orang lain tidak wajib menunaikan haji. Dan orang itu tidak dapat dikatakan telah mampu hanya karena pemberian itu.
"Meskipun orang yang memberinya bantuan adalah kerabat atau orang lain, berupa fasilitas kendaraan, perbekalan, atau uang tunai," demikian pendapat Ibnu Qudamah dalam memberikan pendapatnya dalam Al-Mughni.
Sementara itu, Imam Syafii berpendapat, jika seseorang mendapat pemberian dari anaknya dan pemberian itu memungkinkannya menunaikan haji, maka ia wajib berangkat haji. Orang tua itu boleh berangkat haji bukan karena pemberiannya, karena memang seharusnya diberikan kepadanya dan tidak akan terjadi mudarat kepadanya.
"Sekali lagi, ia wajib haji seolah-olah ia sendiri yang memiliki perbekalan dan kendaraan," katanya.
Namun, menurut pendapat Syaikh Sa'id bin Abdul Qadir Salim Basyanfar dalam bukunya "Al-Mughnie Tuntunan Manasik Haji dan Umroh Terlengkap", pendapat Imam Syafii lah yang benar. Karena berdasarkan sabda Rasulullah SAW.
Nabi Muhammad SAW bersabda, "Sesungguhnya sebaik-baik yang dimakan seseorang adalah hasil jerih payahnya sendiri dan (pemberian) anaknya itu termasuk hasil jerih payahnya." (Hadis riwayat Imam Ahmad, Imam Abu Dawud, Imam Ibnu Majah, dan Imam Tirrmudzi. Beliau (lmam Turmudzi) berkata, "Hadis itu hasan sahih).
Sabda Rasulullah SAW lainnya:
Sabda Rasulullah SAW " Kamu dan hartamu adalah milik bapakmu." (Hadis riwayat Imam Ahmad dan Imam Ibnu Majah).
Jadi, maksud Imam Syaf'i tentang definisi mampu (istitha'ah) itu adalah kemampuan yang terwujud dengan siapnya faktor pendukung dan semua fasilitasnya. Mampu dapat juga terwujud dengan diperbolehkannya menggunakan sesuatu dan tidak harus memiliki karena kepemilikan bukan syarat dasar pada zat sesuatu itu, tetapi adanya
kemampuan untuk memanfaatkan perbekalan (memakannya) atau kendaraan (menungganginya).
Oleh karena itu, antara kepemilikan dan kebolehan mempergunakan sesuatu dianggap sama di dalam 'Bab Bersuci dalam Hal Melarang dari Bolehnya Thyammum."
Begitu pula untuk perkara haji. Para ulama dari kalangan mazhab Hanafi dan Hanbali sama-sama berpendapat, bahwa kepemilikan perbekalan dan kendaraan termasuk syarat wajibnya haji. Sehingga tidak wajib haji bagi orang yang hanya dapat memanfaatkan/menggunakan perbekalan dan kendaraan dengan instruksi pemilik barang (perbekalan dan kendaraan) atau bukan pemilik barang.
Mereka berpendapat, kategori mampu dalam hal faktor-faktor penunjang dan fasilitas untuk berangkat haji tidak dapat ditetapkan hanya dengan izin menggunakan semua barang itu karena pemberian izin itu bukan sesuatu yang harus dilaksanakan bagi orang yang mempunyai barang, ia berhak melarang orang yang diberi izin untuk
memanfaatkan barangnya itu.
Mengingat masih adanya kemungkinan dilarang pemilik barang, berarti kemampuannya secara mutlak tidak ada. Oleh karena itu, ia belum dapat dikatakan mampu.
Adapun jika yang memberikan barang itu bukan anaknya (kerabat atau orang lain), menurut ulama mazhab Syafii, tidak menerima pemberian itu lebih utama lagi karena dengan menerima pemberian itu, berarti ada unsur memudaratkannya sehingga akhirnya menjadi beban baginya dan kerabat atau orang lain itu dapat meminta ganti.