Pengakuan Barat dan Teori Gravitasi yang Hilangkan Peran Pemikir Muslim

Barat berusaha mengaburkan peran Islam dalam kemajuan peradaban mereka

Barat berusaha mengaburkan peran Islam dalam kemajuan peradaban mereka. Sains Islam (ilustrasi)
Rep: Hasanul Rizqa Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID, — Dalam konteks keilmuan, Islam memberikan dampak positif bagi sejarah kebudayaan Barat. Penulis Light from the East (2011), John Freely, menyatakan Barat yang saat ini maju dengan pesat serta menjadi pusat sains dunia sesungguhnya berutang budi pada Islam. 

Baca Juga


Sejak abad kedelapan hingga 14 Masehi, kaum Muslimin memuncaki peradaban dunia. Begitu banyak sarjana Muslim yang berkarya dan mengabadikan gagasan-gagasan mereka pada pelbagai manuskrip. 

Alumni New York University itu menegaskan, berkat kemurahan hati umat Islam yang merelakan karya-karya ilmuwannya diterjemahkan, Barat pun bisa bertransformasi.  Akan tetapi, keluh Freely, Eropa sejak abad ke- 17 M seolah-olah melupakan utang budinya kepada Islam. 

Ambil contoh, fisikawan Sir Isaac Newton yang acap kali mengatakan, dirinya mampu melihat jauh ke depan karena berdiri di atas bahu para raksasa. Namun, para raksasa yang disebutkannya secara eksplisit adalah para pemikir Eropa era Renaisans atau filsuf Yunani Kuno. 

Newton tidak menyebut reputasi besar para cendekiawan Muslim pada abad pertengahan, yang justru dari mereka-lah Eropa pertama kali belajar tentang sains.  Dalam historiografi sains, orang-orang zaman kini mungkin lebih mengenal nama Newton tatkala di tanya perihal siapa penemu teori gravitasi. 

Padahal, teori tersebut dirintis untuk pertama kalinya oleh seorang sarjana Muslim dari abad ke-12, yakni Abu Fath 'Abd al-Rahman al-Khazini. Lima abad sebelum ilmuwan Inggris itu, al-Khazani telah menemukan, kuat gravitasi berubah sesuai dengan jarak antara ben da yang jatuh dan benda yang menariknya. 

Selain itu, astronom Persia itu mendeteksi adanya kaitan antara kecepatan (velocity) benda yang jatuh, jarak yang ditempuhnya, dan waktu yang diperlukannya. Dengan demikian, apa-apa yang dirumuskan Newton merupakan kuantifikasi dari hubungan antarvariabel yang sudah dijelaskan al-Khazini lima abad sebelumnya. 

Dalam penulisan sejarah sains Barat, orang-orang barangkali bisa (berpura-pura) melewatkan pembahasan tentang besarnya kontribusi Islam seperti contoh kasus Newton dan al-Khazini di atas. Namun, hal itu agaknya muskil terjadi pada historiografi filsafat Barat. Peran para pemikir Muslim dalam kebangkitan studi filsafat Barat, khususnya sejak era Renaissance, terlalu besar untuk dilewatkan. 

Salah seorang filsuf besar yang karya-karyanya menghidupkan kembali gerak intelektual Eropa ialah Ibnu Rusyd (1126-1198). Sarjana Muslim tersebut merupakan seorang pemberi syarah atau komentar-komentar kritis atas pemikiran Aristoteles.

Bahkan, masyarakat terpelajar Eropa sampaisampai menyebut Averroes demikian namanya dalam lisan mereka sebagai Aristoteles II. Bersama dengan Sokrates dan Plato, Aristoteles merupakan filsuf Yunani yang paling masyhur dalam masa sebelum Masehi.  

sumber : Harian Republika
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler