Gus Yahya, PBNU, dan Metaverse

Gus Yahya diharapkan bisa mengembalikan relevansi organisi Islam di dunia digital.

ANTARA/Hafidz Mubarak A
Katib Aam PBNU Yahya Cholil Staquf menghadiri pembukaan Muktamar Nahdlatul Ulama ke-34 di Pondok Pesantren Darus Sa
Red: Karta Raharja Ucu

Oleh : Abdullah Sammy, Jurnalis Republika

REPUBLIKA.CO.ID, Selamat kepada keluarga besar PBNU yang telah sukses menyelenggarakan Muktamar di Lampung. Muktamar menetapkan KH Yahya Staquf sebagai Ketua Umum PBNU masa khidmat 2021-2026.  

Sebagai sosok intelektual Muslim yang memiliki basis tradisi yang kuat, besar harapan umat kepada mantan juru bicara Gus Dur ini. Optimisme bahwa NU akan mampu memberi warna baru bagi perkembangan peradaban Islam. 

Sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia, bahkan di dunia, NU ibarat mercusuar bagi perkembangan umat. Di tengah arus besar disrupsi lingkungan dan teknologi, peran NU jadi semakin vital. Bagaimana peradaban Islam memandang peradaban baru, seperti metaverse, jadi salah satu contoh dari respons terhadap disrupsi itu. 

Dunia baru digital, seperti metaverse, tentu akan memunculkan banyak goncangan dalam peradaban manusia. Perubahan ini menyimpan potensi sekaligus ancaman yang mesti direspons Islam.


Dengan kualitas serta pengaruhnya, NU punya peran penting untuk merespons lompatan peradaban digital tersebut. Namun pertanyaannya masih pentingkah peran organisasi di tengah kehidupan masyarakat era digital yang semakin individual?

Terkait pertanyaan ini, ada pernyataan menarik yang disampaikan Gus Yahya pada 2020. Dalam sesi peluncuran bukunya berjudul Perjuangan Besar Nahdlatul Ulama, Gus Yahya menyinggung relevansi organisasi yang semakin memudar di tengah masyarakat. 

Secara tidak langsung, Gus Yahya menyinggung potensi disrupsi pada eksistensi organisasi di era kini. Menurut Gus Yahya, mulai muncul gejala masyarakat tidak membutuhkan lagi organisasi. Semua bisa bergerak sendiri, tanpa jalur organisasi. 

Apa yang disampaikan Gus Yahya merupakan fenomena empiris yang terjadi di berbagai organisasi, termasuk organisasi Islam. Disrupsi teknologi menghadirkan disrupsi pula pada organisasi. Ini membuat peran yang selama ini dimainkan organisasi jadi tergantikan. 

Sebagai contoh, jika dahulu saluran konsolidasi untuk kegiatan membutuhkan peran organisasi, kini peran itu bisa langsung dilakukan individu via whatsapp atau media sosial. Tak pelak kini  semakin jamak ulama membawa benderanya pribadi, tak lagi dengan bendera ormas. 

Otorisasi individual ini yang kerap menjadi masalah. Seorang jadi semakin bebas memakai label ulama, tanpa kontrol. Hanya dengan model ponsel dan sorban, siapa pun bisa menjangkau umat. 

Apa yang terjadi dalam organisasi Islam bisa diibaratkan dengan toko retail di era digital. Dahulu, pemilik usaha berusaha keras untuk menjajakan barangnya di toko retail. Dan untuk bisa memasukkan barangnya ke retail tidak mudah dan murah. Kontrolnya ketat. 

Namun digitalisasi mendisrupsi semua itu. Toko retail terdisrupsi aplikasi online. Semua kini jadi bisa berdagang via online shop atau media sosial. Efek positifnya, semua jadi lebih murah dan mudah. Tapi efek buruknya kualitas dan kontrol produk semakin lemah. Akibatnya banyak penipuan atau barang palsu. 

Pengibaratan toko retail itu sama dengan ormas Islam di era digital kini. Akibat kemajuan teknologi, individu bisa bergerak sendiri berbicara agama secara lebih 'murah' dan mudah via media sosial. Namun efek negatifnya semakin marak ajaran atau pemikiran menyimpang. 

Kenyataan empiris soal relevansi organisasi ini telah dipotret secara tajam oleh Gus Yahya. Dia mengidentifikasi bahwa yang membuat relevansi organisasi memudar adalah konstruksi atau pola organisasi yang usang.

Kini dengan posisinya sebagai Ketua Umum PBNU, tentu harapan besar agar Gus Yahya mampu mengembalikan relevansi organisasi Islam di tengah perkembangan dunia digital. Terlebih, menjelang era mertaverse yang efeknya pada kehidupan akan jauh lebih dahsyat lagi. 

Dengan metaverse, individu semakin mudah menciptakan circle sendiri dengan visualisasi layaknya dunia avatar. Akibatnya interaksi yang bersifat emosional tentu akan lebih dalam. Bayangkan jika individu yang salah memanfaatkan hal ini untuk menyebar pemikiran dan pandangan yang menyimpang. 

Kehadiran organisasi Islam sangat penting di tengah era inflasi arus informasi akibat digitalisasi. Ormas Islam menjadi garda untuk mengcounter banyaknya individu yang hanya dengan modal ponsel dapat mempengaruhi massa. Ormas profesional tentu memiliki mekanisme kontrol ketat organisasi. Bukan kontrol yang bersifat individual.       

Oleh karenanya, sangat penting bagi setiap organisasi Islam untuk bisa bertransformasi secara digital. Metaverse mesti diimbangi dengan metaorganisasi Islam. 

Ormas Islam dapat meminjam pola metaorganisasi dalam organisasi bisnis yang bermuara pada konsep platform digital. Gawyer (2014) dalam Kenny, Rouvinen, Seppala, dan Zysman (2019) menjelaskan bahwa pola platform adalah saat organisasi bisnis berkembang menjadi metaorganisasi yang mampu menjadi wadah yang mempertemukan sisi permintaan dan penawaran via digital. 

Menurut Van Alstyne, Parker, dan Choudary (2016) pola metaorganisasi platform melibatkan empat instrumen, yakni pemilik platform, provider (medium), pebisnis, dan yang mengkonsumsi. Contoh sederhana dari keempat instrumen itu dalam platform Gojek adalah pemilik Gojek (pemilik platform), perusahaan ponsel dan penyedia paket data (provider), driver Gojek (seller), dan konsumen. Keempat instrumen itu berinteraksi sehingga menghasilkan efek jaringan (network effect) yang sangat kuat. 

Jika pendekatan organisasi bisnis itu dipakai ke organisasi Islam, maka keempat instrumennya adalah ormas (sebagai pemilik platform), provider (penyedia koneksi digital), ulama yang menyampaikan ajarannya, dan umat yang mengonsumsinya. 

Walhasil, Ormas sebagai pemilik platform mesti memanfaatkan segala provider digital yang mampu mempertemukan ulama mereka dengan umat. Interaksi secara terus menerus lewat pola metaorganisasi ini akan memperkuat network effect bagi ormas.

Efek jaringan ini dapat dimanfaatkan ormas tak hanya ke sisi aqidah saja, melainkan juga muammalah. Dengan itu ormas dalam memberdayakan umat secara spiritual, sosial, edukasi, maupun ekonomi. Sehingga relevansi ormas Islam akan sangat kuat di era digital. 

Bisa dibayangkan tentu network effect yang dihasilkan apabila PBNU yang memiliki anggota lebih dari 100 juta itu mampu melakukan transformasi metaorganisasi ke dunia digital.

Mengakhiri tulisan ini, izinkan saya mengutip salam penutup yang kerap diucapkan warga NU, wallahul muwafiq ila aqwamit-thariiq. Karena pada akhirnya, Allahlah yang memberi petunjuk ke jalan yang selurus-lurusnya, baik di dunia semesta (universe) maupun semesta digital (metaverse).

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler