Libur Bertanggung Jawab di Masa Varian Omicron Muncul
Staycation bisa jadi salah satu alternatif liburan rendah risiko.
REPUBLIKA.CO.ID, oleh Dian Fath Risalah, Rr Laeny Sulistyawati
Tidak semua orang berani berlibur di masa akhir tahun. Ancaman varian Omicron pasalnya menghantui tepat di momen pergantian tahun.
Deputi Bidang Pemasaran Kemenparekraf, Nia Niscaya, menyampaikan salah satu alternatif cara berlibur yang relatif aman pada masa akhir tahun. Alternatif tersebut adalah staycation, atau berlibur dengan memanfaatkan fasilitas hotel.
Nia menjelaskan beberapa alasan mengapa staycation dipandang lebih aman. Pertama, karena kegiatan liburan tersebut dapat dilakukan dari titik terdekat. Dengan demikian, para pelaku tidak harus melakukan pergerakan atau mobilitas yang jauh.
Meski dilakukan di tempat yang tidak terlalu jauh dari rumah, kata Nia, menginap di hotel tetap memberikan pengalaman yang berbeda dan wisatawan bisa merasakan kearifan lokal yang berbeda pula. "Dan sudah keluar dari lingkungan keseharian, diambil experience-nya, take the local wisdom,” lanjut Nia, Kamis (30/12).
Selain itu, kegiatan tersebut biasanya dilakukan dalam kelompok kecil, sehingga risiko berkerumun dengan orang lain dapat ditekan. “Kecenderungannya (staycation) dalam kelompok kecil. Keluarga atau teman yang kita tahu persis bahwa mereka sehat, sudah divaksin, bahkan mungkin swab antigen dulu, dan protokol kesehatannya ketat,” tutur Nia.
Kemudian terkait sarana transportasi yang digunakan, Nia menyebutkan bahwa pelaku staycation lebih banyak bergerak dengan kendaraan pribadi, sehingga tidak banyak bertemu orang lain seperti ketika menggunakan moda transportasi umum. Meski relatif lebih aman, Nia tetap menekankan, bahwa pelaku staycation harus tetap menjadi traveller yang bertanggung jawab, yakni wajib vaksin lengkap dan tidak meninggalkan prokes.
“Pandemi masih ada, jadilah traveller yang bertanggung jawab,” tegasnya.
Di sisi lain, menurut Nia, diperlukan peran dari semua pihak diperlukan untuk memastikan kegiatan berwisata tetap aman dan nyaman. Untuk itu, ia juga meminta para pelaku industri pariwisata seperti pengelola hotel, restoran, dan tempat wisata, untuk juga menjadi pengelola yang bertanggung jawab.
Dalam hal ini, pihaknya telah memfasilitasi para pengelola usaha parwisata dengan sertifikasi CHSE, yang nilai-nilainya merupakan payung besar dalam kampanye Indonesia Care (I Do Care) dari Kemenparekraf. CHSE adalah Cleanliness (Kebersihan), Health (Kesehatan), Safety (Keamanan), dan Environment Sustainability (Kelestarian Lingkungan).
“Usaha-usaha pariwisata yang sudah mendapatkan sertifikasi CHSE artinya dia sudah menerapkan protokol kesehatan di dalam menjalankan usahanya. Misalnya kalau di hotel tentu kita disediakan hand sanitizer, tempat cuci tangan, begitu pula restoran, kemudian suhu dicek, kemudian semua piring, perangkat sudah disterilisasi, kemudian karyawannya juga sudah divaksin dua kali,” kata Nia.
Nia meminta kepada para pengelola usaha wisata untuk juga mengedepankan perlindungan kesehatan para pekerja atau petugas, meski untuk hotel, Nia telah meyakini kepastian prokes dan kebersihannya. "Kamar dibersihkan ketika kita (pengunjung) tidak di tempat, sehingga potensi bertemu orang di luar keseharian atau petugas juga dapat dihindari,” papar Nia.
Pariwisata, dikatakan Nia, mendapatkan tantangan tersendiri di masa pandemi. “Karena DNA-nya pariwisata adalah bergerak. Sementara hal tersebut dibatasi pada masa pandemi. Karena itu, kalau ingin bergerak, harus bertanggung jawab,” imbaunya.
"Jadi, pergilah ke tempat wisata yang sudah memiliki sertifikasi CHSE. Kita bisa saja ragu dan bisa mengecek CHSE ini QR code. Nanti dari situ akan terhubung ke website kami HSE.kemenparekraf.go.id dan silakan lihat list nya untuk melihat daftar usaha yang sudah tersertifikasi CHSE," katanya.
Yang tidak kalah penting, Kemenparekraf juga meminta masyarakat saat akan liburan harus sehat, harus menjaga diri, cukup tidur, olahraga teratur, makan juga diatur, serta bergaya hidup sehat.
Bila ingin berlibur, pemerintah mengimbau masyarakat tidak melakukan perjalanan luar negeri untuk mencegah penularan varian Omicron. Pasalnya kasus Omicron yang saat ini ada di Indonesia kebanyakan berasal dari pelaku perjalanan luar negeri.
Varian Omicron memiliki karakteristik penularan yang lebih cepat daripada varian Delta pada negara-negara yang telah mengalami transmisi komunitas. Di Inggris, tingkat keparahan varian Omicron menyebabkan 29 kematian. Estimasi risiko masuk perawatan gawat darurat Omicron 15-25 persen lebih rendah dibandingkan Delta. Estimasi risiko hospitalisasi atau rawat inap 1 hari atau lebih akibat Omicron 40-45 persen lebih rendah.
Dalam waktu dua minggu pada Ahad (26/12), 46 kasus Omicron terdeteksi di Indonesia. Sebanyak 15 orang di antaranyamerupakan pelaku perjalanan dari Turki. Ada pula kasus konfirmasi Omicron yang berasal dari pelaku perjalan luar negeri dari Inggris, UEA, Arab Saudi, Jepang, Malaysia, Malawi, Republik Kongo, Spanyol, USA, Kenya, Korea, Mesir, dan Nigeria. Sebanyak 74 persen kasus Omicron sudah divaksin lengkap, 80 persen tanpa gejala atau bergejala ringan, dan 96 persen kasus adalah WNI.
Sementara itu, Rabu (29/12) ada penambahan kasus konfirmasi Omicron sebanyak 21 kasus yang merupakan pelaku perjalanan luar negeri. Sehingga total kasus Omicron sebanyak 68 orang.
Data WHO dari penghitungan prediksi peningkatan kasus akibat Omicron dibandingkan dengan Delta dan dengan mempertimbangkan tingkat penularan dan risiko keparahan, maka didapati hasil bahwa kemungkinan akan terjadi peningkatan penambahan kasus yang cepat akibat Omicron. Akan tetapi diiringi dengan tingkat penggunaan tempat tidur rumah sakit atau ICU yang lebih rendah dibandingkan dengan periode Delta.
Juru Bicara Vaksinasi Covid-19 Kementerian Kesehatan, dr Siti Nadia Tarmidzi mengingatkan kembali untuk menunda perjalanan ke luar negeri bagi para WNI karena risiko penularan yang besar. Apabila sedang berada di luar negeri tetap jalankan protokol kesehatan.
Nadia juga mengingatkan bahwa kasus Omicron telah terjadi transmisi lokal di Indonesia. Masyarakat diminta waspada dan tetap disiplin protokol kesehatan.
“Perlu menjadi perhatian bahwa kita juga sudah mengidentifikasi kasus transmisi lokal, artinya risiko penularan di masyarakat juga sudah ada,” katanya, Kamis (30/12).
Ia juga memastikan, pemerintah terus memantau dan mengontrol pintu masuk negara sebagai upaya mencegah bertambahnya kasus Omicron maupun varian lainnya yang berasal dari negara lain masuk ke Indonesia.
Selain itu, dukungan dan kerja sama semua pihak juga diharapkan dalam upaya-upaya pengendalian seperti pelacakan kontak, testing, karantina, juga isolasi. Kasus Omicron di Indonesia, dikatakan Nadia, mayoritas sudah divaksinasi lengkap. Kemudian dari kasus Omicron yang ditemukan tersebut, lebih banyak yang tidak bergejala, serta hanya sedikit bergejala ringan.
“Ini konsisten dengan temuan di berbagai negara. Yang artinya bisa kita sampaikan bahwa vaksin yang diberikan, memberikan efek perlindungan untuk gejala sakit berat dan kematian,” tambahnya.
Namun demikian, Nadia menekankan, dengan adanya identifikasi kasus transmisi lokal maka berarti risiko penularan sudah ada di tengah masyarakat. Risiko sakit parah juga kematian harus tetap menjadi kewaspadaan. Deteksi dini perlu dilakukan guna mencegah keparahan dan memutus rantai penularan.