Kazakhstan Memanas, AS dan PBB Serukan Semua Pihak Menahan Diri
AS mengatakan secara dekat mengikuti situasi di Kazakhstan
REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- AS pada Rabu (5/1/2022) menyerukan semua pihak di Kazakhstan menahan diri menyusul meningkatnya ketegangan sosial atas kenaikan besar harga bahan bakar minyak.
Dalam sebuah pernyataan, juru bicara Departemen Luar Negeri Ned Price mengatakan Washington secara dekat mengikuti situasi di Kazakhstan, yang disebutnya sebagai "mitra yang berharga.
"Kami mengutuk tindakan kekerasan dan perusakan properti dan menyerukan agar pihak berwenang dan pengunjuk rasa menahan diri," kata Price.
Dia mengatakan AS meminta semua warga Kazakhstan untuk menghormati dan membela institusi konstitusional, hak asasi manusia dan kebebasan media, termasuk pemulihan layanan internet.
"Kami mendesak semua pihak untuk menemukan resolusi damai dari keadaan darurat," tambah Price.
PBB juga mendesak pihak berwenang dan demonstran untuk menahan diri dari kekerasan dan mendorong dialog. Dalam sebuah pernyataan, Stephane Dujarric, juru bicara Sekretaris Jenderal Antonio Guterres, mengatakan PBB prihatin dengan peristiwa di Kazakhstan.
Pengemudi di kota Zhanaozen mulai berdemonstrasi menentang kenaikan harga bahan bakar minyak pada Ahad (2/1/2022), yang segera berkembang menjadi protes massal di seluruh negeri. Kementerian Dalam Negeri Kazakhstan mengumumkan pada Rabu bahwa lebih dari 200 orang ditahan karena mengganggu ketertiban umum selama demonstrasi di seluruh negeri itu Selasa.
Memegang tanggung jawab pemerintah atas protes terhadap kenaikan harga minyak, Tokayev pada hari Rabu menyetujui pengunduran diri Perdana Menteri Askar Mamin dan para menterinya.
Saat protes menyebar ke seluruh negeri pada hari sebelumnya, Tokayev mengumumkan keadaan darurat di kota Almaty dan wilayah kaya minyak Mangystau antara 5-19 Januari untuk menjaga keamanan publik. Dia juga memberlakukan jam malam di Almaty, bekas ibu kota Kazakhstan, tempat ribuan orang turun ke jalan. Sementara polisi menggunakan granat kejut dan gas air mata untuk membubarkan para pengunjuk rasa.
Merespons aksi protes, pemerintah memutuskan untuk mengontrol harga elpiji, bensin, solar dan produk makanan pokok selama 180 hari.