Tarekat Sufi Bekal Pangeran Diponegoro Lawan Penjajah

Pangeran Dipenogoro dikenal kuat dalam menjalani tarekat tasawuf

wikipedia
Pangeran Dipenogoro dikenal kuat dalam menjalani tarekat tasawuf. Pangeran Diponegoro.
Rep: Hasanul Rizqa Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID, —Saat menjalani pengasingan sebagai tahanan kolonial, Pangeran Diponegoro menulis autobiografi yang kemudian berjudul Babad Diponegoro.

Baca Juga


Melalui teks yang sekarang berstatus Memory of the World versi UNESCO itu, Sang Pangeran yang bergelar Raden Mas Ontowiryo ini menuturkan perjalanan hidupnya. 

Kisah bermula ketika Pangeran Diponegoro yang berusia tujuh tahun diasuh nenek buyutnya, Ratu Ageng, di Tegalreja. Kompleks tersebut berada sekitar tiga kilometer sebelah barat Keraton Yogyakarta. 

Pada waktu itu, Ratu Ageng sudah berusia 60 tahun. Menyingkirnya dari Keraton lantaran tidak tahan dengan gaya hidup anaknya, Sultan Hamengkubuwono II, penguasa Yogyakarta saat itu. 

Babad Diponegoro mengenang perempuan ini sebagai sosok yang saleh dan berjiwa kesatria. Di masa mudanya, Ratu Ageng pernah menjadi komandan regu putri pengawal raja. Selain itu, bersama dengan suaminya, Sultan Hamengkubuwono I, dia bertempur melawan Belanda hingga ditandatanganinya Perjanjian Giyanti. 

Meskipun berstatus ningrat, Ratu Ageng hidup berbaur dengan masyarakat setempat. Secara tidak langsung, Pangeran Diponegoro belajar kesetaraan melalui keturunan pendiri Kesultanan Bima itu.

Ratu Ageng juga memberikan teladan hidup berdikari. Dalam usia renta, sosok yang akrab dengan dunia pesantren ini tidak begitu bergantung pada Keraton. 

Sawah miliknya yang diolah para petani sekitar Tegalreja mencukupi kebutuhannya. Dari ajaran Ratu Ageng pula, kata Peter Carey, Pangeran Diponegoro menjadi mandiri ketika dewasa.

Sebagai contoh, pada awal Perang Diponegoro, sang pangeran sanggup membiayai sendiri pasukannya. Keteladanan yang paling penting dari Ratu Ageng ialah kecintaannya pada ilmu-ilmu agama.

Kompleks Tegalreja sering mengundang dan juga menjadi kediaman alim ulama untuk memberikan pengajaran.

Hal ini didukung letak permukiman ini yang memang cukup dekat dengan tiga pathok negara pengajar Islam untuk kesultanan, yakni Kasongan, Papringan, dan Melangi.

 

Peter Carey dalam Kuasa Ramalan (tiga jilid) menyebutkan, Pangeran Diponegoro sudah akrab dengan kalangan santri setidaknya sejak masih tinggal di Keraton. 

Oleh karena itu, tidak mengherankan bila pengasuhan oleh Ratu Ageng menimbulkan kesan mendalam di hati sang pangeran kecil. Di antara para ulama yang pernah mengajar di Tegalreja adalah Syekh al-Ansari, Kiai Ngusman Ali Basah, dan Haji Baradudin. 

Kiai Ngusman pernah memimpin Masjid Suronatan, tempat ibadah pribadi sultan Yogya. Adapun Haji Badarudin tercatat dua kali naik haji serta mempelajari bentuk pemerintahan Kesultanan Utsmaniyah atas dukungan Keraton.

Sejak di Tegalreja pula, Pangeran Diponegoro mulai mengenal Tarekat Naqsyabandiyah atau Syatariah, yang pada akhirnya menjadi basis semangat perjuangannya melawan kolonialisme. 

Abdul Hadi WM dalam Cakrawala Budaya Islam menambahkan, Pangeran Diponegoro mulai menggemari pustaka sejak di Tegalreja. Kitab-kitab Jawa kuno semacam Mahabharata dan Ramayana telah dibacanya. 

Pangeran Diponegoro juga menelusuri teks-teks islami, seperti Tajus Salatinkarya Bukhari al-Jauhari, seorang sufi Aceh dari abad ke-17. Kitab itu mempersoalkan tentang sistem kekuasaan yang ideal menurut Islam. 

Guru besar Universitas Paramadina itu menjelaskan, Tajus Salatin menjadi rujukan sang pangeran, bahkan selalu dibawanya selama perang berlangsung. 

Selain itu, dia juga mempelajari antara lain at-Tuhfah karangan Ibn Hajar, Ihya Ulumuddin karya Imam Ghazali, dan epos- epos kepahlawanan Islam. Di samping itu, tentunya dia mendaras kitab suci Alquran beserta tafsirnya. 

Ratu Ageng meninggal dunia pada 1803. Jasadnya dikebumikan di kompleks permakaman keraton, Imogiri. Betapa sedihnya Pangeran Diponegoro, yang saat itu berusia 18 tahun.

 

Peter Carey menjelaskan, dua tahun kemudian sang pangeran memutuskan untuk berkelana, keluar dari lingkungan istana. Dia hendak menjalani pengembaraan spiritual agar lepas dari kungkungan duniawi. 

sumber : Harian Republika
Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler