Mantan Kepala Kepolisian Xinjiang Jadi Komandan Garnisun Hong Kong
China menunjuk mantan kepala polisi Xinjiang jadi komandan garnisun Hong Kong
REPUBLIKA.CO.ID, HONG KONG - China menunjuk mantan kepala paramiliter sekaligus mantan kepala staf Angkatan Bersenjata Kepolisian Xinjiang, Peng Jintang, sebagai komandan baru untuk garnisun Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) di Hong Kong. Pengumuman ini disiarkan oleh stasiun penyiaran China, CCTV, pada Ahad (9/1/2022) malam waktu setempat yang mengutip juru bicara PLA.
Garnisun merupakan bagian angkatan bersenjata yang mempunyai kedudukan atau tempat pertahanan yang tetap. Peng berpangkat mayor jenderal. Dia sebelumnya menjabat sebagai wakil kepala staf kepolisian paramiliter China atau Polisi Bersenjata Rakyat.
CCTV mengatakan, pengangkatan Peng sebagai komandan baru dari garnisun PLA di Hong Kong ditandatangani oleh Presiden China Xi Jinping. Menurut Global Times, Peng sebelumnya juga pernah menjabat sebagai kepala staf Angkatan Bersenjata Polisi di Xinjiang.
Seperti diketahui provinsi Xinjiang memiliki isu yang memanaskan internasional. Washington mengatakan Beijing melakukan genosida terhadap minoritas Muslim Uighur dan kelompok Muslim lainnya di provinsi tersebut. Namun China menyangkal pelanggaran di Xinjiang.
PLA mempertahankan sebuah garnisun di Hong Kong, tapi kegiatannya sebagian besar bersifat tak terlalu menarik perhatian publik atau low profile. Di bawah konstitusi mini pusat keuangan global, hukum dasar, pertahanan, dan urusan luar negeri dikelola oleh para pemimpin Partai Komunis di Beijing.
Peng mengatakan dalam penunjukan barunya dia akan bekerja dengan semua anggota garnisun untuk mengikuti perintah Partai Komunis yang berkuasa dan Xi. Menurutnya dia akan dengan tegas membela kedaulatan nasional dan kepentingan keamanan.
Hong Kong kembali ke pemerintahan China pada 1997 dengan janji hak-hak individu yang luas akan dilindungi. Namun aktivis pro-demokrasi dan kelompok hak asasi mengatakan kebebasan telah terkikis, khususnya sejak China memberlakukan undang-undang keamanan nasional baru setelah berbulan-bulan protes dengan kekerasan pada 2019. Otoritas Hong Kong dan China menyangkal pembatasan kebebasan dan mengatakan undang-undang itu diperlukan untuk memulihkan ketertiban setelah kerusuhan berkepanjangan.