Studi: Diet Ala Barat Jadi Sebab Sakit Autoimun

Dua pakar Inggris meneliti pengaruh pola makan Barat terhadap penyakit autoimun.

The Blue Diamond Gallery
Dua pakar Inggris meneliti pengaruh pola makan Barat terhadap penyakit autoimun.
Red: Nora Azizah

REPUBLIKA.CO.ID, 

Baca Juga


Oleh: Shelbi Asrianti

Semakin banyak orang di seluruh dunia yang mengidap penyakit autoimun. Penyakit autoimun terjadi karena sistem kekebalan tubuh tidak dapat lagi membedakan antara sel sehat dan mikroorganisme yang menyerang.

Pertahanan tubuh yang seharusnya melindungi dari penyakit malah berbalik menyerang jaringan dan organ. Ilmuwan seluruh dunia tengah berusaha melakukan riset untuk mengetahui penyebabnya, termasuk yang dilakukan pakar Inggris.

Dua pakar bernama James Lee dan Carola Vinuesa dari Francis Crick Institute London membentuk kelompok penelitian terkait hal itu. Mereka berupaya mengetahui penyebab dari penyakit autoimun.

Jenis penyakit autoimun termasuk diabetes tipe satu, lupus, rheumatoid arthritis, penyakit radang usus, dan sklerosis ganda. Setidaknya empat juta orang di Inggris mengembangkan kondisi tersebut, dengan beberapa individu mengidap lebih dari satu jenis.

Secara internasional, diperkirakan jumlah kasus penyakit autoimun meningkat antara tiga sampai sembilan persen per tahun. Sebagian besar ilmuwan percaya faktor lingkungan memainkan peran kunci dalam kenaikan ini.

Demikian pula pendapat Lee dan Vinuesa. Menurut mereka, genetika manusia tidak berubah selama beberapa dekade terakhir. Artinya, ada perubahan eksternal yang memengaruhi peningkatan kecenderungan penyakit autoimun.

Secara spesifik mereka merujuk pada perubahan pola makan, mengingat semakin banyak warga global yang mengadopsi pola makan ala barat. Diet Barat yang sarat makanan cepat saji kekurangan bahan penting, seperti serat sehingga berdampak pada kondisi mikrobioma.

"Kumpulan mikroorganisme di usus kita memainkan peran kunci dalam mengendalikan berbagai fungsi tubuh. Perubahan mikrobioma ini kemudian memicu penyakit autoimun, yang sekarang telah ditemukan lebih dari 100 jenis," ungkap Vinuesa.

Akan tetapi, kerentanan individu turut terlibat dalam risiko mengidap penyakit autoimun. Jika seseorang tidak memiliki kerentanan genetik tersebut, belum tentu dia akan terkena penyakit autoimun, tidak peduli berapa banyak burger cepat saji yang disantap.

Lewat studinya, Vinuesa dan Lee mencoba memahami mekanisme genetik mendasar yang mendukung penyakit autoimun dan membuat beberapa orang rentan tetapi yang lain tidak. Terlihat perbedaan DNA di antara individu tersebut.

"Ketika saya mulai melakukan penelitian, kami tahu sekitar setengah lusin varian DNA yang terlibat dalam memicu penyakit radang usus. Sekarang kami tahu lebih dari 250," kata Lee, dikutip dari laman The Guardian, Selasa (11/1/2022).

Lee dan Vinuesa mencoba mengungkap jalur genetik yang berbeda pada pengidap jenis autoimun yang berlainan pula. Hal itu penting untuk menentukan jenis pengobatan yang tepat bagi pasien.

Sudah banyak terapi baru yang berpotensi berguna dan terus dikembangkan, namun biasanya profesional medis tidak tahu harus memberikan terapi apa untuk pasien mana. Pasalnya, belum diketahui versi penyakit autoimun yang dimiliki.

"Itu sekarang menjadi tujuan utama penelitian autoimun. Kami harus belajar bagaimana mengelompokkan pasien sehingga kami dapat memberi mereka terapi yang tepat," tutur Lee.

Dia menekankan pentingnya menemukan perawatan dan obat-obatan yang efektif bagi pasien karena penyebaran penyakit autoimun kian masif. Saat ini, belum ada obat untuk penyakit autoimun, yang bisa menyerang segala usia.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler