Sidebar

Arab Saudi Deportasi Tahanan Muslim Uighur ke China, Risiko Penyiksaan di Depan Mata

Wednesday, 12 Jan 2022 12:58 WIB
Muslim Uighur dan aparat keamanan di China (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, RIYADH -- Arab Saudi mendeportasi seorang tahanan cendekiawan Muslim Uighur, Aimadoula Waili, ke China. Deportasi itu dapat menyebabkan Waili berisiko menghadapi penyiksaan.

Baca Juga


Anak perempuan Waili mengatakan, seorang pejabat pengadilan Saudi menemui ayahnya pekan lalu. Pejabat tersebut mengatakan kepada Waili bahwa, dia harus siap secara mental untuk diekstradisi ke China dalam beberapa hari mendatang.

Anak perempuan Waili menerima informasi tentang deportasi ayahnya oleh seorang pria Uighur yang memantau kasus tersebut. Pria itu mengkonfirmasi rencana Riyadh untuk mendeportasi Waili dan seorang tahanan Uighur lainnya. Waili dan tahanan Uighur lainnya tidak didakwa dengan kejahatan apa pun baik di Arab Saudi maupun di China.

Salah satu putri Waili, Nurin Hemdullah mengaku sedih mendapatkan informasi bahwa ayahnya akan dideportasi ke China. Rencana deportasi itu telah membuat hati keluarga Waili hancur.

"Kami tidak mendengar suara ayah kami selama lebih dari setahun, dan kami sedih mengetahui bahwa dia akan dikirim ke China. Sejak mendengar tentang kemungkinan deportasinya, kami menangis tanpa henti. Dan setiap kali kami memikirkan perpisahan ini, rasa sakitnya tak tertahankan, dan hati kami hancur setiap saat," ujar Hemdullah, dilansir Middle East Monitor, Rabu (12/1/2022).

Waili, yang juga dikenal sebagai Hemdullah Abduweli, mengunjungi Arab Saudi pada 2020 untuk menunaikan ibadah haji di kota suci Makkah. Konsulat China di Riyadh dilaporkan telah meminta agar Waili dideportasi. Waili khawatir akan ditahan dan diekstradisi, jika dia berusaha meninggalkan Saudi. Sehingga, dia bersembunyi dengan hidup dari jaringan Uighur di dalam kerajaan.

Namun, Waili ditangkap oleh otoritas Saudi pada November 2020, dan telah ditahan di Penjara Keamanan Maksimum Pusat Dhahban, Jeddah. Waili, yang memegang tempat tinggal resmi di Turki, sebelumnya telah dua kali dipenjarakan oleh otoritas China karena ajaran agamanya.

Selama beberapa tahun terakhir, banyak laporan dan bukti substansial telah muncul mengenai penganiayaan pemerintah China terhadap Muslim Uighur di provinsi Xinjiang. China diduga melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan, termasuk penahanan lebih dari satu juta orang Uighur dan etnis minoritas lainnya di kamp penahanan. Otoritas China juga dilaporkan melakukan penyiksaan, pelecehan seksual, dan sterilisasi paksa terhadap perempuan.

China telah berulang kali membantah laporan dan bukti dari kamp-kamp penahanan. Beijing bersikeras bahwa, mereka sedang menangani terorisme dan ekstremisme.

Baca: Temukan 2 Kasus Omicron, China Kurung 20 Juta Orang dengan Lockdown 3 Kota

Sejumlah negara mayoritas Muslim seperti Arab Saudi, Uni Emirat Arab (UEA), Mesir, Pakistan, dan Maroko telah menolak untuk menyelidiki penganiayaan terhadap Uighur. Bahkan, negara-negara tersebut setuju untuk bekerja sama dengan Beijing dalam mendeportasi orang Uighur kembali ke China. Riyadh dan Beijing juga telah meningkatkan hubungan dan kerja sama mereka dalam beberapa tahun terakhir. Menteri luar negeri Saudi bertemu dengan menteri luar negeri China untuk membahas masalah ekonomi dan keamanan. 

Baca: Kucurkan Rp 4,4 Triliun, AS: Kami Tetap Jadi Donor Tunggal Terbesar di Afghanistan

Baca: Udara Beku Kutub Utara Sapu Wilayah Timur Laut AS, Suhunya Menusuk Kulit

Berita terkait

Berita Lainnya