'Tiga Hal Harus Dilakukan Santri untuk Bangun Dakwah yang Menyatukan'
Dakwah Rasulullah yang sedemikian baik itu berhasil menciptakan transformasi sosial.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Agama sejatinya mewasiatkan umatnya untuk senantiasa melakukan kebaikan dan menyebarkannya kepada semesta. Dakwah menjadi ujung tombak dalam perkembangan dan penyebaran agama. Corak dakwah yang keras, konfrontatif, dan destruktif kerap menjadi fenomena belakangan ini cenderung hanya menimbulkan resistensi ditengah masyarakat yang beragam.
Santri muda yang juga CEO App KESAN (Kedaulatan Santri), Hamdan Hamedan menuturkan setidaknya ada tiga kiat berdakwah yang dapat menyatukan umat, serta menghapuskan narasi pemecah belah kebinekaan yang mengatasnamakan dakwah.
"Menurut saya, setidaknya ada tiga kiat dakwah yang dapat memberikan manfaat yang luas bagi umat serta mempersatukan segenap anak bangsa. Pertama, dakwah yang baik. Artinya isi dakwahnya itu baik dan cara penyampaiannya pun dengan adab yang baik. Konten yang baik akan bermanfaat bagi pendengar dakwah, sedangkan adab yang baik membantu memastikan konten yang baik akan diterima oleh pendengar," ujar Hamdan Hamedan di Jakarta, Kamis (20/1).
Yang kedua, menurutnya yaitu dakwah yang benar. Di mana hal atau konten yang ingin disampaikan kepada umat atau masyarakat sudah teruji kebenaran dan keakuratannya atau bersumber dari sumber yang kredibel. Misalnya dalam Islam sumbernya Alquran, hadis, ijma para ulama, atau pendapat para ulama yang terpercaya. Jangan asal mengutip dari internet tanpa mengetahui sumbernya. Hal ini dapat menciptakan kegaduhan yang tidak perlu.
"Ketiga, adalah dakwah yang tepat. maksudnya disampaikan diwaktu dan tempat yang tepat. Karena ada juga suatu kebenaran yang apabila disampaikan di saat yang tidak tepat tentunya juga akan memicu resistensi atau penolakan," ungkapnya.
Lebih lanjut, Hamdan juga menekankan kepada para santri agar senantiasa mempelajari perbedaan, baik itu perbedaan di masayarakat maupun perbedaan pendapat dikalangan ulama dan juga senantiasa menghormati perbedaan yang ada.
“Kuncinya, kita harus menghormati perbedaan itu sendiri, termasuk perbedaan yang ada di dalam agama kita sendiri. Kita perlu bijak dan menghindari dari merasa diri paling benar,” kata pria yang mendapatkan gelar Master dari Middlebury Institute of International Studies, Monterey, Amerika Serikat ini.
Dalam kesempatan itu, Hamdan juga menyinggung kasus perusakan sesajen yang sempat viral dan membuat kegaduhan di jagad sosial media beberapa waktu lalu. Menurutnya masyarakat Indonesia perlu memahami bahwa bangsa ini merupakan bangsa yang majemuk.
"Kita harus paham bahwa kita hidup di negara yang majemuk, dimana ada orang yang mengamalkan suatu peribadatan yang berbeda, maka itu pun dilindungi oleh negara. Tetapi negara juga memberi ruang kepada kita (umat Islam) untuk mengamalkan ataupun beribadah sesuai dengan keyakinan kita," ungkapnya.
Pria yang pernah menjadi President Indonesian Diaspora Network, California Utara, Amerika Serikat ini juga menuturkan bahwa diperlukan pemahaman bahwa perbedaan menjadi sesuatu yang dikehendaki Allah SWT dan sebagai umatnya, kita perlu kebijaksanaan untuk menyikapinya.
"Kalau kita melihat adanya perbedaan dalam keyakinan, tentunya kita juga harus menyikapinya dengan bijaksana bahwa perbedaan keyakinan itu adalah hal yang wajar. Karena Allah SWT mengatakan 'Dan jika Allah menghendaki niscaya Dia menjadikan kamu satu umat (saja)," jelasnya.
Lebih lanjut, ia mengungkapkan dalam berdakwah hendaknya seseoarang juga harus meneladani Rasulullah SAW dalam menyampaikan kebaikan.
"Islam mengajarkan dakwah dengan cara yang baik, ke arah yang baik. Ada pula istilah dakwah bil hikmah yaitu dakwah itu dengan hikmah, arif dan bijaksana. Jadi mengajak suatu kebaikan harus dengan cara yang baik pula sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah," ungkapnya.
Salah satu penggagas dan pengajar Diaspora Pancasila tersebut, mengutip buku Michael Heart yang menyatakan, dakwah Rasulullah yang sedemikian baik itu berhasil menciptakan transformasi sosial dan generasional, lintas batas dan lintas zaman, bahkan hingga saat ini. Semuanya berawal dari dakwah yang baik dan beradab.
"Jadi, apabila kita melihat suatu kemusyrikan, misalnya, maka kita tetap harus menjelaskan dengan baik dan santun. Sebagaimana Rasulullah berdakwah dengan baik dan santun kepada pamannya, Abu Thalib. Disitu Rasulullah tidak memberi ruang untuk kekerasan, tetapi tetap istikamah berdakwah dengan adab yang baik kepada pamannya hingga akhir hayat sang paman," ucapnya.