7 Langkah Memilih Teman dalam Perspektif Islam
Tidak semua orang bisa dijadikan sahabat.
Manusia disebut juga sebagai makhluk sosial (zoom politicon). Dalam kehidupannya, manusia membutuhkan orang lain. Begitu makna zoon politicon diberikan para ahli.
Dengan kata lain, manusia dikodratkan untuk hidup bermasyarakat dan berinteraksi dengan manusia lain atau teman. Seorang teman memiliki pengaruh yang sangat besar bagi agama seseorang.
Lihatlah Abu Thalib yang enggan menerima dakwah Rasulullah Saw dan akhirnya mati di atas kesyirikan. Hal itu disebabkan teman yang mendampinginya, yakni Abu Jahal yang terus mempengaruhinya agar tidak menerima dakwah Nabi Muhammad Saw.
Musayib ra bercerita,“Ketika sakaratul maut menghampiri Abu Thalib, Rasulullah Saw datang dalam keadaan di sisi Abu Thalib ada Abu Jahal dan Abdullah bin Abu Umayyah.
Rasulullah Saw berkata, ‘Wahai paman, ucapkanlah ‘Laa ilaha illallah’, satu kalimat yang dengannya aku akan membelamu di sisi Allah.’
Keduanya berkata, ‘Apakah kamu membenci agama Abdul Muththalib?’
Nabi terus mengulang ucapannya. Akan tetapi, keduanya juga mengulang ucapan mereka. Jadilah akhir kehidupan Abu Thalib adalah di atas agama Abdul Muththalib (yakni di atas kesyirikan).” (HR. al-Bukhari)
Ketahuilah! Tidak semua orang bisa dijadikan sahabat. Sebagaimana Baginda Rasulullah Saw bersabda: “Seseorang itu berada di atas agama (perangai) temannya. Maka dari itu, hendaklah seseorang memperhatikan siapa yang ia jadikan sebagai teman dekatnya.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud)
Rasulullah Saw juga bersabda: “Janganlah kamu berteman kecuali dengan seorang mukmin; dan janganlah memakan makananmu kecuali orang yang bertakwa.” (HR. Abu Dawud)
Sabda beliau: “Permisalan antara teman yang baik dan teman yang jelek, bagaikan penjual misik dan pandai besi. Adapun penjual misik, bisa jadi engkau akan diberi olehnya, membeli darinya, atau minimalnya engkau akan mencium bau wangi darinya. Adapun pandai besi, bisa jadi pakaianmu akan terbakar atau engkau akan mencium bau tidak sedap darinya.” (HR. al-Bukhari)
Seseorang yang akan dijadikan sebagai teman hendaknya memenuhi syarat-syarat yang telah dijelaskan oleh para ulama, di antaranya:
• Berakal
Ini adalah modal utama dalam persahabatan, setelah iman. Tidak ada kebaikan ketika berteman dengan orang yang dungu. Sebab, bisa jadi dia ingin berbuat baik kepadamu, tetapi hal tersebut justru bermudarat bagimu.
Yang dimaksud berakal di sini adalah mampu memahami keadaan yang sebenarnya, baik memahaminya sendiri maupun memahami ketika diberi pengertian.
• Berakhlak baik
Betapa banyak orang yang berakal, tetapi ketika sedang marah atau dikuasai syahwat, dia akan mengikuti hawa nafsunya. Oleh karena itu, tidak ada kebaikan berteman dengan orang yang seperti ini.
Lantas, bagaimana cara mengetahui akhlak seseorang? Ada beberapa cara untuk mengetahui akhlak seseorang, diantaranya:
• Melihat siapa temannya
“Seseorang itu berada di atas agama (perangai) temannya. Maka dari itu, hendaknya seseorang memperhatikan siapa yang dia jadikan sebagai teman dekatnya.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud)
Ibnu Mas’ud radhiallahu anhu berkata, “Nilailah (kenalilah) manusia dengan menilai (mengenal) teman-temannya.”
• Teman dan Pengaruhnya dalam Kehidupan Beragama Seseorang
Pepatah Arab menyatakan, “Katakan kepadaku siapa temanmu, maka aku akan sampaikan siapa sebenarnya kamu.”Sebagian ahli hikmah berkata, “Kenali temanmu dengan mengenali temannya sebelummu.”
• Akhlak seseorang juga akan diketahui saat safar (bepergian)
Perjalanan jauh disebut safar (yang dalam bahasa Arab bermakna ‘menyingkap’) karena akan menyingkap hakikat jati diri seseorang.
Dalam safar, akan terlihat banyak akhlak dan tabiatnya. Oleh karena itu, orang Arab menyatakan, “Safar adalah mizan (timbangan) bagi satu kaum.”
• Bukan orang fasik
Seorang yang fasik tidak akan merasa takut kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Seseorang yang tidak takut kepada Allah SWT tidak bisa dipercaya. Selain itu, kita tidak akan merasa aman dari pengkhianatannya.
• Bukan ahlul bid’ah
Sebab, dikhawatirkan dia akan menebarkan kebid’ahannya kepada orang lain.Fudhail bin Iyadh rahimahullah berkata, “Tidak mungkin seorang Ahlus Sunnah berteman (condong) dengan ahlul bid’ah, kecuali karena adanya kemunafikan (dalam hatinya)."
Beliau rahimahullah berkata juga, “Hati-hatilah! Janganlah engkau duduk bersama orang yang akan merusak hatimu. Jangan pula engkau duduk bersama pengikut hawa nafsu karena aku khawatir murka Allah SWT akan menimpamu.”