KPK: Suap Dana PEN Daerah Tunjukkan tak Adanya Transparansi
KPK mengingatkan pejabat tak berlaku di luar kewenangannya terkait pinjaman dana PEN.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengaku pidana rasuah terkait pinjaman Dana Pemulihan Ekonomi Nasional Daerah (PEN) terjadi karena tidak adanya transparansi. Kasus tersebut telah menjerat mantan direktur jenderal Bina Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Mochammad Ardian Noervianto.
"Karena alokasi anggaran, informasi pinjaman semua serba tidak transparan, akhirnya akan membuka ruang bagi para pihak itu untuk bernegosiasi," kata Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata di Jakarta, Kamis (3/2/2022).
Dia mengatakan, KPK telah mengingatkan kementerian dan lembaga agar bersikap transparan guna mencegah tindakan korupsi. Dia mengatakan, hal itu kerap dilakukan KPK melalui kedeputian pencegahan.
Terkait pengajuan dana PEN, Alex mengatakan agar semua pejabat tidak berlaku di luar kewenangan mereka terkait pinjaman tersebut. Menurutnya, para pihak terkait sebetulnya tidak dapat membantu mengurusi pengajuan dana tersebut.
"Sebetulnya orang dalam itu hanya menjual informasi, yang dilakukan nggak ada karena bukan kewenangannya. Tapi karena informasi itu membuat mereka seakan-akan bisa mengurus itu. Ini yang tidak tersampaikan," katanya.
Selain Ardian Noervianto, KPK juga mengamankan Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Muna, Laode Syukur Akbar dan Bupati Kolaka Timur Periode 2021-2026, Andi Merya Nur. Ketiganya saat ini telah ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan KPK.
Dalam perkara ini, Laode dan Ardian, merupakan penerima suap Dana PEN Daerah. Sementara Bupati Andi Merya Nur ditetapkan KPK sebagai tersangka pemberi suap.
Ardian dan Laode disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.
Sementara Andi, disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.