Bertolak ke Beijing, Putin Bakal Temui Xi Jinping

Putin telah bertolak ke China untuk menghadiri seremoni pembukaan Olimpiade Beijing

AP/Andy Wong
Relawan yang mengenakan masker wajah untuk membantu melindungi dari virus corona mengobrol satu sama lain di stan informasi untuk Olimpiade Musim Dingin Beijing di Qianmen Street, tempat wisata populer di Beijing, Minggu, 23 Januari 2022. Presiden Rusia Vladimir Putin telah bertolak ke Beijing, China, untuk menghadiri seremoni pembukaan Olimpiade Musim Dingin Beijing 2022, Jumat (4/2/2022).
Rep: Kamran Dikarma Red: Friska Yolandha

REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Presiden Rusia Vladimir Putin telah bertolak ke Beijing, China, untuk menghadiri seremoni pembukaan Olimpiade Musim Dingin Beijing 2022, Jumat (4/2/2022). Dia turut diagendakan melakukan pertemuan bilateral dengan Presiden China Xi Jinping.

Baca Juga


Putin mengkritik langkah boikot diplomatik yang diambil beberapa negara Barat terhadap penyelenggaraan Olimpiade Musim Dingin Beijing. Dia menekankan, praktik semacam itu, secara fundamental, keliru. “Sayangnya, upaya sejumlah negara untuk mempolitisasi olahraga untuk kepentingan egois mereka baru-baru ini meningkat,” kata Putin, dalam tulisannya yang dimuat di Xinhua, Kamis (3/2).

Dalam tulisannya, Putin memuji hubungan diplomatik Rusia-China. Menurutnya, kedua negara memiliki tujuan global yang kian identik. “Koordinasi kebijakan luar negeri antara Rusia dan China didasarkan pada pendekatan yang erat serta bersamaan untuk memecahkan masalah global dan regional,” ujarnya. 

Sejumlah negara, antara lain Amerika Serikat (AS), Inggris, Kanada, Australia, Jepang, dan Denmark diketahui telah memutuskan untuk melakukan boikot diplomatik terhadap penyelenggaraan Olimpiade Musim Dingin Beijing. Dugaan pelanggaran HAM yang dilakukan China, termasuk terhadap Muslim Uighur, menjadi landasan mereka mengambil keputusan itu. Namun negara-negara terkait tetap mengizinkan para atletnya untuk berpartisipasi dalam ajang olahraga tersebut.

China telah konsisten membantah laporan yang menyebut ada pelanggaran HAM sistematis di Xinjiang, termasuk penahanan lebih dari 1 juta masyarakat Uighur. Namun Beijing tak menampik tentang adanya pusat-pusat pendidikan vokasi di sana. Pusat itu sengaja didirikan untuk memberi pelatihan keterampilan dan keahlian kepada warga Uighur dan etnis minoritas lainnya. Dengan demikian, mereka dapat bekerja dan angka pengangguran di Xinjiang dapat berkurang.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler