KPPU Dalami Faktor Pembentuk Harga di Dugaan Kartel Minyak Goreng

KPPU menyebut ada empat produsen besar yang diduga terlibat kartel minyak goreng

ANTARA FOTO/Basri Marzuki
Pedagang menata minyak goreng curah yang dijual di Pasar Masomba, Palu, Sulawesi Tengah. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Jumat (4/2/2022) sudah melakukan pertemuan dengan produsen minyak goreng. Kepala Biro Hubungan dan Kerja Sama KPPU Deswin Nur mengatakan terdapat beberapa hal yang didalami dalam pertemuan tersebut.
Rep: Rahayu Subekti Red: Ichsan Emrald Alamsyah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Jumat (4/2/2022) sudah melakukan pertemuan dengan produsen minyak goreng. Kepala Biro Hubungan dan Kerja Sama KPPU Deswin Nur mengatakan terdapat beberapa hal yang didalami dalam pertemuan tersebut. 


"Kami lebih mendalami faktor pembentuk harga dan validasi berbagai permasalahan yang berkembang saat ini," kata Deswin kepada Republika, Jumat (4/2/2022). 

Meskipun begitu, Deswin mengungkapkan saat ini KPPU belum bisa membagikan hasil lengkap dari pertemuan tersebut. Hanya saja, Deswin mengatakan masih ada pertemuan selanjutnya dengan produsen minyak goreng lainnya. 

"Hari ini dari 3 panggilan. Dua (produsen minyak goreng lainnya) dijadwalkan ulang," ujar Deswin. 

Sebelumnya, Ketua KPPU Ukay Karyadi mengungkapkan telah menemukan empat pemain besar yang diduga terlibat kartel. Untuk ini hari ini (4/2/2022) KPPU memanggil produsen minyak goreng terkait untuk membahas hal tersebut. 

Ukay memaparkan alasan adanya indikasi kartel terkait melonjaknya harga minyak goreng beberapa waktu lalu, dengan menyebut terdapat sinyal-sinyal praktik kartel. Jadi, lanjut Ukay, ketika ada kenaikan harga Crude Palm Oil (CPO), maka situasi tersebut dijadikan momentum untuk pelaku usaha minyak goreng pada perusahaan besar untuk menaikkan harga.

Menurut Ukay, yang menjadi perhatian KPPU adalah selain pabrik minyak goreng tersebut terintegrasi dengan kebun sawit milik mereka sendiri, perusahaan-perusahaan tersebut juga menaikkan harga jual secara bersamaan. Padahal, lanjut Ukay, jika terjadi kenaikan di produk minyak goreng PT A (misalnya), maka PT B akan mengambil alih pasar PT A dengan tidak ikut menaikkan harga.

Namun yang terjadi justru para pemain besar minyak goreng tersebut menaikkan harga secara kompak. "Nah, ketika kenaikan ini terjadi, pemerintah sampai harus turun tangan mengintervensi harga dengan kebijakan satu harga di level Rp 14 ribu per liter dan terbukti tidak efektif. Sehingga merubah lagi kebijakan dengan Domestic Market Obligation (DMO) dan Domestic Price Obligation (DPO)," ungkap Ukay.

Dengan demikian, Ukay mengatakan bahwa KPPU melihat adanya praktik oligopoli, sehingga intervensi yang dilakukan di hilir dinilai kurang efektif tanpa pembenahan struktur industrinya dari hulu. "Tentunya intervensi pasar di hilir tanpa membenahi struktur industrinya menjadi kurang efektif, karena posisi tahap awalnya ada di perusahaan-perusahaan besar tersebut," ujar Ukay.

Sementara Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) membuat petisi kepada Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) terkait dugaan kartel minyak goreng (migor). Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi mengatakan saat ini KPPU juga sudah mengungkapkan adanya dugaan empat perusahaan yang menguasai perdagangan minyak goreng di Indonesia.

"Untuk itulah, lewat petisi ini kami meminta agar KPPU segera mengusut sampai tuntas dugaan kartel minyak goreng ini sebagaimana dimandatkatkan oleh Undang-undang Anti Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat," kata Tulus, Jumat (4/2/2022). 

Jika dugaan tersebut terbukti, Tulus meminta KPPU dan pemerintah tegas dalam memberikan sanksi hukum perdata, pidana, dan administrasi.  Dia menuturkan, pemerintah tidak boleh segan segan untuk mencabut izin ekspor perusahan yang terlibat.

"Ini supaya bisa memprioritaskan konsumsi domestik atau bahkan mencabut izin usahanya," ujar Tulus. 

Terlebih saat ini, stok minyak goreng di minimarket masih terpantau kosong. Sementara yang terjadi di pasar tradisional, harga minyak melambung tinggi sekali.

"Kenapa bisa, negara penghasil minyak kelapa sawit terbesar di dunia tapi masyarakatnya tidak bisa membeli minyak goreng sawit dengan harga yang lebih terjangkau dan tidak ada gangguan pasokan," ungkap Tulus. 

Untuk itu dugaan kartel minyak goreng menurutnya perlu diusut tuntas karena sebuah praktik usaha tidak sehat menyebabkan harga minyak goreng jadi tinggi sekali. Struktur pasar minyak goreng terdistorsi oleh para pedagang besar CPO dan minyak goreng.

"Bukan tidak mungkin, keempat perusahaan ini melakukan praktik kartel dan bersekongkol menentukan harga bersama supaya harga minyak goreng jadi mahal sekali. Walaupun ini masih dugaan, tetapi fenomena di pasar mengindikasikan dengan kuat," jelas Tulus. 

Tulus menegaskan masyarakat sebagain konsumen tidak bisa dibiarlan kesulitan mendapatkan minyak goreng. Terutama bagi yang menjalankan usaha dan untuk keperluan domestik rumah tangga. 

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler