Thailand Jajaki Skema Travel Bubble dengan China dan Malaysia

Travel bubble sebagai langkah pemulihan sektor pariwisata Thailand.

Pixabay
Pattaya, salah satu objek wisata populer di Thailand. Thailand akan menjajaki skema gelembung perjalanan atau travel bubble dengan China dan Malaysia
Rep: Fergi Nadira Red: Friska Yolandha

REPUBLIKA.CO.ID, BANGKOK -- Thailand akan menjajaki skema gelembung perjalanan atau travel bubble dengan China dan Malaysia akhir bulan ini. Langkah ini dilakukan sebagai bagian dari upaya untuk meningkatkan pemulihan yang stabil di sektor pariwisata.

Baca Juga


Juru bicara pemerintah Thailand Thanakorn Wangboonkongchana mengatakan, skema travel bubble akan menentukan jumlah wisatawan yang diizinkan dalam pertukaran termasuk protokol untuk visa, perjalanan, dan asuransi. Dia menambahkan bahwa China telah sepakat untuk membahas pertukaran turis.

"Pemerintah Perdana Menteri Prayuth Chan-Ocha akan segera membahas dengan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata China rincian kemungkinan kesepakatan perjalanan bilateral. Sementara itu pejabat Thailand juga dikatakan bersiap untuk mengadakan pembicaraan dengan Malaysia menyoal kesepakatan serupa.

Travel bubble merupakan skema untuk membuka gerbang pariwisata antar negara selama pandemi Covid-19. Di bawah travel bubble, wisatawan tidak akan dikarantina dan dapat menikmati pengaturan visa dan akomodasi khusus. Thanakorn mengatakan, negara-negara yang menyepakati travel bubble akan menyepakati kuota untuk pelancong dan mengidentifikasi zona khusus untuk pergerakan mereka untuk mencegah wabah baru Covid.

"Perdana menteri percaya Thailand tetap menjadi tujuan wisata yang menarik bagi wisatawan asing bahkan selama pandemi," kata Thanakorn seperti dikutip laman Aljazirah, Senin (7/2/2022). "Pemerintah telah mendukung pemulihan pariwisata dalam kenormalan baru yang mengupayakan keseimbangan antara keselamatan pelancong dan masyarakat yang dapat menjadi model pariwisata di masa depan," ujarnya menambahkan.

Wisatawan China dan Malaysia menyimbang lebih dari sepertiga dari 40 juta pengunjung ke Thailand pada 2019. Dari situ, lebih dari 20 miliar dolar AS masuk dari pendapatan pariwisata Thailand.

Kendati begitu, kedatangan wisatawan telah merosot sekitar 0,5 persen tahun lalu karena permintaan eksternal yang lebih lemah dan persyaratan karantina hingga masuk yang ketat. Di sisi lain, Beijing juga memberlakukan pembatasan pada perjalanan warganya ke luar negeri.

Thailand sebagai pusat pariwisata Asia Tenggara telah menderita kerugian miliaran dalam bisnis yang hilang karena kurangnya wisatawan dari China. Seperti diketahui China belum menyetujui pengaturan travel bubble apapun.

Pembicaraan travel bubble ini terjadi sepekan setelah Thailand mengaktifkan kembali skema perjalanan Test and Go untuk kedatangan bagi turis yang divaksinasi dari semua negara. Test and Go berarti, jika sudah ada asuransi kesehatan dan dites negatif Covid-19, maka mereka dapat melewati karantina.

Sebaliknya, China membutuhkan karantina yang panjang untuk sebagian besar pendatang termasuk warga negara China sendiri. Oleh karena China memiliki kebijakan tanpa toleransi terhadap wabah, pemerintahnya ketat dalam menyaring siapapun yang masuk ke negaranya.

Thailand mengejar kesepakatan bilateral dengan dua negara ini untuk memicu pemulihan yang lebih luas dalam industri pariwisata yang jatuh dilanda pandemi. Kembalinya wisatawan dari China dan Malaysia dipandang sebagai kunci untuk rebound yang berkelanjutan.

"Kami pikir travel bubble akan lebih positif untuk sektor pariwisata Thailand daripada skema bebas karantina 'Test & Go' yang saat ini diterapkan, karena skema bebas karantina saja tidak cukup untuk menarik wisatawan yang harus dikarantina saat mereka kembali," ujar seorang ekonom di Standard Chartered Plc, Bangkok, Tim Leelahaphan.

"Meskipun rencana tersebut merupakan titik awal yang baik, kami pikir jalur pemulihan yang jelas dan kuat tidak mungkin terjadi dalam waktu dekat dan kemungkinan besar akan terjadi pada paruh kedua atau akhir tahun ini," imbuhnya.

Thailand menghadapi peningkatan kasus baru akhir-akhir ini dipicu oleh varian omicron. Pemerintah mencatat 10 ribu kasus baru pada Sabtu pekan lalu, terbesar dalam tiga bulan.

sumber : Reuters
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler