Bentrokan Aparat dengan Rakyat di Desa Wadas Mengingatkan Sengketa Tanah Waduk di Madura Semasa Or

Mengapa bentrokan rakyat dan aparat soal sengketa lahan masih terus terjadi

network /Muhammad Subarkah
.
Rep: Muhammad Subarkah Red: Partner
Kendaraan Kepolisian parkir di Desa Wadas, Purworejo, Jawa Tengah, Rabu (9/2/2022). Diketahui, pada Selasa (8//2/2022) kemaren 63 orang khususnya 56 warga Wadas ditangkap kepolisian. Para warga yang ditangkap adalah mereka yang bersikeras menolak lahannya dibebaskan untuk penambangan batu adesit. Luas tanah yang akan dibebaskan mencapai 124 hektar.Batu andesit yang ditambang dari Desa Wadas ini sedianya akan digunakan sebagai material untuk pembangunan Waduk Bener yang lokasinya masih berada di Kabupaten Purworejo.

Bentrokan rakyat dengan aparat dalam soal sengketa tanah kini kembali terjadi di desa Wadas Purworejo, Jawa Tengah. Kasus ini segera membuat heboh dunia media sosial dan dunia media masa. Kasus ini semakin melengkapi jumlah kasus sengketa agraia yang tercatat di Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA).


Berdasarkan pemantauan KPA, di tahun 2021 terjadi 207 letusan konflik di 32 provinsi yang tersebar di 507 desa/kota. Korban yang terdampak mencapai 198.895 kepala keluarga (KK) dengan luas lahan berkonflik 500.062 hektare (ha).

Tentu saja sengketa lahan antara aparat dengan rakyat menyedihkan. Peristiwa ini seakan mengulang berbagai sengketa tanah di awal 1960-an. Atau juga sengketa pada awal 1990-an di masa Orde Baru. Rakyat jadi korban. Banyak di antara mereka yang tewas dalam bentrokan.

Maka, begitu muncul kasus sengketa tanah di desa Wadas itu, ingatakan tiba-tiba balik lagi ke kasus yang serupa di Sampang, Madura, pada 25 September 1995. Kisah soal bentrokan warga Sampang ini termuat dalam jurnal 'repository' dari Universitas Jember. Beda dengan kasus Wadas yang lahannya akan dijadikan tambang, kasus di Sampang terkait sengketa lahan pendirian waduk Nipah. Kala itu, dikarenakan di atas tanah-tanah milik penduduk yang hendak dijadikan waduk Nipah banyak terdapat kuburan-kuburan leluhur mereka yang sudah meninggal, warga Nipah merasa keberatan.

Kala itu kondisi tegang akibat sengketa lahan itu, semakin diperparah oleh ketidakmengertian aparat pemerintah terhadap budaya masyarakat Madura, terutama penduduk delapan desa. Hal-hal sensitif yang bersentuhan dengan ego atau harga diri masyarakat Madura seringkali dilanggar. Kiai, makam (buju’), tanah, dan agama adalah bagian dari harga diri orang Madura yang mereka pertahankan. Ketika orang luar sengaja atau tidak disengaja menyentuh permasalahan ini, maka masyarakat Madura akan menujukkan sikap penentangan.

Masyarakat Madura bila sampai terusik hingga soal ibi, mereka menjadi tidak peduli apakah yang melecehkan itu mempunyai posisi dalam struktur pemerintah atau tidak. Masyarakat Madura akan tetap menentang.

Bila dirunut dari awal kemarahan warga Sampang itu bermula dari sikap Tim pengukur tanah dari Badan Pertanahan Nasional yang kurang berkenan dalam norma petani pemilik pada saat membebaskan tanah untuk pembangunan waduk. Dengan seenaknya Tim pengukur tanah memasang patok-patok merah guna menunjukkan batas-batas rencana pembangunan waduk di atas lahan petani tanpa meminta ijin pemiliknya.

Nah, ketika proses pengukuran tanah berjalan tersendat-sendat bupati Sampang memberikan intruksi pada Polres dan Koramil untuk mendampingi Tim pengukur tanah dalam pelaksanaannya. Akibatnya penduduk petani delapan desa menjadi resah. Mereka merasa khawatir aparat keamanan dari Polsek dan Koramil akan melakukan tindak kekerasan dalam proses pengukuran tanah jika penduduk tidak mau diukur tanahnya.

Dan keresahan penduduk delapan desa di Sampang Madura itu semakin meningkat ketika, beberapa tokoh mereka ditangkap dan di bawa ke Koramil, dan pada saat penangkapan tersebut kepala desa memaksa penduduk delapan desa untuk menandatangani surat yang menurut mereka berisi pernyataan bahwa jika mereka menandatangani surat ini, maka pengukuran tanah akan dihentikan.

Akan tetapi, setelah penduduk memberikan tanda tangan, beberapa hari kemudian Tim pengukur tanah dengan didampingi oleh aparat Polsek dan Koramil kembali lagi melakukan pengukuran di atas lahan penduduk, dan ternyata surat yang sudah ditandatangani oleh penduduk tersebut berisikan persetujuan bahwa penduduk tidak merasa keberatan tanahnya diukur. Hal ini ditambah lagi adanya ancaman dari kepala desa bahwa siapa saja yang tidak mau tanahnya diukur akan dihukum.

Pembangunan waduk Nipah, penyebab terjadinya tragedi Nipah

Beberapa hari kemudian setelah tokoh-tokoh lokal seperti, Hudhori, Ma’ruf, dan Size dilepaskan, Tim pengukur tanah kembali melakukan pengukuran di Desa Planggaran Barat. Kembali penduduk memprotes tindakan Tim pengukur yang sedang mengukur tanah mereka. Atas kejadian ini pengukuran tanah untuk sementara dihentikan. Akan tetapi, pihak Polsek yang mendampingi Tim pengukur kembali lagi ke lokasi. Mereka mencari Hudhori yang di duga menjadi penghasut atas protes penduduk pagi tadi.

Ketika sampai di rumah Hudhori dan tidak menemukan orangnya, aparat Polsek marah dan melimpahkan semua kekesalannya dengan masuk ke musalla tanpa melepaskan sepatu dan merusak peralatan pengeras di atas pohon mangga. Kejadian ini dimaknai oleh penduduk sebagai penghinaan terhadap agama yang mereka anut. Dengan secara tidak langsung kejadian ini semakin antipati terhadap Tim pengukur dan aparat Polsek dan koramil.

Kekecewaan penduduk petani delapan desa yang telah dilanggar etika kesopanan dan harga diri mereka, yaitu agama dan kuburan yang sangat dihormati memuncak ketika Bupati Sampang mengeluarkan dugaan bahwa proses pembebasan tanah untuk pembangunan waduk Nipah mengalami hambatan ini disebabkan oleh kekhawatiran tokoh lokal/ulama terpotong fungsinya sebagai pemimpin informal.

Dugaan yang negatif ini secara tidak langsung memicu kemarahan penduduk, karena mereka beranggapan bahwa aparat pemerintah sudah keterlaluan dalam melecehkan harga diri mereka, dimana kiai dan tokoh lokal dianggap sebagai pemimpin yang takut tidak berfungsi. Kemarahan,keresahan, dan kekecewaan penduduk delapan desa mencapai titik klimaksnya pada tanggal 25 September 1993, ketika Tim pengukur tanah dengan didampingi 20 aparat Polres dan Kodim melakukan pengukuran tanah di desa Planggran Barat. Dengan meneriakkan yel-yel para penduduk delapan desa mendesak Tim pengukur untuk menghentikan proses pengukuran.

Guna membubarkan protes petani delapan desa aparat Polres dan Kodim melepaskan tembakan peringatan. Ketika melihat melihat petani delapan desa tetap mendesak maju ke lokasi pengukuran, aparat Polres dan Kodim melepaskan rentetan tembakan sungguhan. Akibat rentetan tembakan ini empat orang menjadi korban.

Insiden yang menewaskan empat orang ini mengundang perhatian masyarakat luas. Seluruh tokoh-tokoh kiai melayangkan surat keprihatian pada gubernur Jawa Timur dan Menteri Dalam Negeri atas peristiwa tersebut, dan menuntut para pelakunya dihukum sesuai dengan hukum yang berlaku. Namun, aparat yang bertanggung jawab atas insiden tersebut tidak pernah mendapat hukuman sesuai dengan kesalahannya. Mereka hanya dimutasikan atau ditarik kembali ke Markas Besar kesatuannya, bahkan Bupati Sampang, Bagus Hinayana, tetap menjalankan jabatannya sampai akhir jabatannya.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa perlawanan petani delapan desa terhadap pemerintah yang menjalankan proses pembangunan waduk Nipah tidak pernah mengalami kemenangan. Mereka bahkan mengalami kerugian dengan kehilangan empat orang warganya yang meninggal saat insiden 25 September 1993.

sumber : https://algebra.republika.co.id/posts/42766/bentrokan-aparat-dengan-rakyat-di-desa-wadas-mengingatkan-sengketa-tanah-waduk-di-madura-semasa-or
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler