Obat dan Terapi Ini Terbukti tak Bermanfaat Bagi Pasien Covid-19, Jangan Dipakai Lagi
Sejumlah obat dan terapi terbukti tak bermanfaat untuk penanganan pasien Covid-19.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejumlah opsi obat antivirus dan terapi dihapus dari buku pedoman tata laksana Covid-19 di edisi empat. Ketua Kelompok Kerja (Pokja) Infeksi Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) Dr dr Erlina Burhan menjelaskan, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah mengeluarkan daftar obat yang tidak bermanfaat bagi pasien Covid-19 dan Indonesia mengadopsinya.
"Terapi dan obat-obatan antivirus yang dihilangkan dari buku pedoman tersebut ialah plasma konvalesen, ivermectin, hidroksiklorokuin, azitromisin, dan oseltamivir," kata dr Erlina dalam konferensi pers virtual "Peluncuran Buku Pedoman Tata Laksana Covid-19 Edisi 4", disimak di Jakarta, Rabu (9/2/2022).
Dr Erlina mengatakan, plasma konvalesen dan ivermectin sebelumnya masuk dalam buku pedoman tata laksana Covid-19 edisi 3. Hanya saja, keduanya tidak pernah masuk obat standar melainkan tambahan semata berdasarkan rekomendasi medis dalam kerangka uji klinis.
"Ivermectin dan plasma konvalesen telah kami keluarkan. Mudah-mudahan ke depannya tidak lagi dipakai oleh teman sejawat," ujarnya.
Sementara itu, obat antivirus hidroksiklorokuin, azitromisin, dan oseltamivir telah dihapus dari buku pedoman sejak edisi 3 yang berlaku setahun sebelumnya. Dengan dikeluarkannya obat dan terapi tersebut dari buku pedoman, menurut dr Erlina, maka seluruh tenaga medis dilarang menggunakan terapi maupun obat-obatan antivirus tersebut saat merawat pasien Covid-19.
Buku Pedoman Tata Laksana Covid-19 Edisi 4 disusun oleh lima organisasi profesi medis, yakni Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (Papdi), Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), dan Perhimpunan Dokter Anestesiologi dan Terapi Intensif Indonesia (Perdatin). Di samping itu, Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular (Perki) serta Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) juga termasuk sebagai tim penyusun.
Dr Erlina menjelaskan, di buku pedoman edisi 4 ini juga ada pembaruan terkait definisi kasus probable varian omicron berdasarkan Polymerase Chain Reaction (PCR) dengan S-Gene Target Failure (SGTF). Sementara itu, konfirmasi varian omicron dilakukan berdasarkan Whole Genome Sequencing (WGS).
Selain itu, ada penekanan bahwa kasus Covid-19 tanpa gejala atau dengan gejala ringan cukup dengan isolasi mandiri atau isolasi terpusat, tidak perlu rawat inap sehingga beban rumah sakit tetap proporsional. Kemudian, perawatan kasus Covid-19 bergejala sedang, berat, kritis dilakukan di fasilitas rumah sakit.
"Seharusnya yang memerlukan perawatan rumah sakit adalah pasien-pasien dengan gejala klinis yang sedang, berat, dan kritis. Batasan-batasannya ada di buku pedoman yang baru (edisi 4)," katanya.
Buku yang didistribusikan kepada tenaga kesehatan di seluruh rumah sakit di Indonesia itu juga memuat pembaruan tentang indikasi ruang perawatan intensif (ICU) dan karakteristik pasien Covid 19 derajat kritis untuk memprediksi lebih dini potensi perburukan. Perubahan lainnya adalah beberapa jenis, dosis dan cara pemberian vaksin baru yang efektif sebagai upaya pencegahan yang penting.
Menurut dr Erlina, upaya mengakhiri pandemi Covid-19 harus dilakukan secara komprehensif, tidak hanya tata laksana pasien yang terinfeksi saja. Ia menegaskan, vaksinasi dan penerapan protokol kesehatan sama pentingnya untuk mencegah penularan dan mencegah Covid-19.
Lebih lanjut Erlina berharap dengan disusunnya buku pedoman ini para dokter di Indonesia dapat menerapkannya sesuai dengan kondisi wilayah kerja masing-masing. Dengan begitu, penatalaksanaan pasien dapat dilakukan dengan cepat dan berbasis bukti, bukan opini.