Penelitian LBH Yogyakarta Kupas Sejarah Penolakan di Desa Wadas
Adanya penolakan terhadap proyek ini karena merusak alam, sosial, dan sebagainya.
REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Anggota Divisi Penelitian LBH Yogyakarta, Kharisma Wardhatul Khusniah mengatakan, ada banyak dampak sosial atas penambangan quarry yang di Desa Wadas. Termasuk, perampasan ruang hidup yang membawa dalih pariwisata.
Ini masih menjadi kesatuan proyek pariwisata yang jadi sektor yang diunggulkan. Diawali MP3EI, RPJMN 2015-2019 dan Perpres 56/2018 tentang Percepatan Proyek Strategis Nasional. Tiga regulasi itu mencantumkan 10 Bali baru di Indonesia.
Salah satunya Kawasan Strategis Pariwisata Nasional Borobudur. Ini merupakan salah satu dari 10 Bali baru yang digagas sejak era Susilo Bambang Yudhoyono. Pendukungnya membutuhkan infrastruktur transportasi untuk menunjang pariwisata.
Dibangunlah Yogyakarta International Airport (YIA) di Kulonprogo, yang beberapa waktu lalu mengakibatkan pelanggaran-pelanggaran HAM yang terjadi di sana. YIA ini memerlukan operasional-operasional dan pendukung dari sektor-sektor lain.
Salah satunya kebutuhan air untuk operasional YIA, sehingga dibangunlah proyek Bendungan Bener. Yang mana, membutuhkan pendukung salah satunya penambangan quarry batuan andesit di Desa Wadas yang digunakan sebagai material pembangunan.
"Jadi, pembangunan Bendungan Bener atau Desa Wadas bukan baru sekali saja atau hanya Desa Wadas saja, tapi ada keterkaitan dengan proyek-proyek besar lainnya yang juga seperti YIA kita tahu ada pelanggaran HAM yang terjadi di sana," kata Kharisma.
Hal itu disampaikan dalam diskusi Launching Riset Dampak Sosial: Wadas Tolak Perampasan Ruang Hidup yang digelar LBH Yogyakarta. Riset ini dilakukan bersama Tim Advokasi Wadas LBH Yogyakarta dan sumbangsih masyarakat Desa Wadas sendiri.
Pada 2018, Gubernur Jawa Tengah mengeluarkan SK tentang Persetujuan Lokasi Pengadaan Tanah bagi Pembangunan Bendungan. Sayangnya, SK ini diterbitkan tanpa melibatkan partisipasi masyarakat, terutama mereka yang terdampak langsung.
Di Kabupaten Purworejo sendiri, ada beberapa penolakan terhadap rencana pembangunan Bendungan Bener. Salah satunya Desa Wadas yang sejak awal sudah menyuarakan penolakan terhadap proyek ini karena merusak alam, sosial, dan lain sebagainya.
Penolakan terjadi pula di Desa Guntur, Kecamatan Bener yang sebenarnya tidak menolak penuh proyek, tapi menolak penentuan ganti rugi yang rendah. Apalagi, awalnya mereka menerima kesepakatan berharap akan mendapatkan ganti untung.
Ternyata, malah mendapatkan harga yang sangat rendah Rp 50-60 ribu per meter persegi. Selain itu, mereka sudah menerima dampak lingkungan seperti rumah dan tanah yang retak, tanah longsor menutupi perkebunan dan menutupi akses sungai.
"Ada juga Desa Burat, Kecamatan Kepil, Kabupaten Wonosobo. Mereka mendukung proyek, pada intinya, melainkan menolak ganti rugi yang murah dan menentang segala bentuk intimidasi dan perjanjian sepihak," ujar Kharisma.
Penambangan tuai sorotan
Pada perjalanannya kemudian, warga Desa Wadas juga menolak penambangan batu andesit di wilayah setempat. Sebab, penambangan tersebut tidak cuma mengancam keberadaan mata air di daerah tersebut.
Terkait penambangan andesit ini, pakar hukum agraria UGM Yogyakarta, Dr Rikardo Simarmata, justru melihat adanya keanehan. Pasalnya, kegiatan pembangunan Bendungan Bener yang masuk kategori kepentingan umum dipaketkan kegiatan pengambilan batu andesit.
Yang mana, merupakan usaha pertambangan dan karena itu tidak masuk dalam kategori kepentingan umum. Ia menuturkan, pemaketan ini memang bisa membuat kegiatan pengukuran dalam rangka pengadaan tanah di lokasi tambang jadi legal.
"Tapi, apakah dengan hak pakai yang dimilikinya Kementerian PUPR berwenang mengambil bebatuan yang terdapat di bawah tanahnya," kata Rikardo, Jumat (11/2).
Ia berpendapat, boleh jadi strategi pemaketan dan penyatuan ini didesak status sebagai proyek strategis nasional (PSN). Umumnya, kalangan birokrat dan penegak hukum mempersepsikan PSN sesuatu yang tidak boleh ditawar dan harus dijadikan.
Menurut Rikardo, dengan persepsi seperti itu dapat membuat peraturan perundangan mengenai PSN dan pelaksanaanya bersifat instrumental. Akibatnya, tidak lain melupakan prinsip-prinsip dan asas-asas yang dikenal dalam hukum pertanahan.
Terkait penyelesaian masalah oleh pemerintah dengan mengerahkan aparat keamanan dalam pembebasan lahan, Rikardo melihat, terlepas keabsahan kegiatan pengukuran, penanganan kelompok masyarakat yang menolaknya tidak boleh bersifat represif.
Maka itu, ia turut menyayangkan, bila sampai terjadi tindakan represi yang tidak sesuai ketentuan hukum acara pidana. Sebab, penyelesaian dengan upaya-upaya lain sangat bisa ditempuh untuk mencegah kelompok yang menolak pembebasan lahan.
"Misalnya, seperti menghadapi demonstran dengan cara memblokade yang tidak berakhir dengan kekerasan seperti penangkapan," ujarnya.