Sejarah Hidayatullah (1): Dari Syanggit Menuju Balikpapan
Inilah desa pengkaderan yang diidam-idamkan KH Abdullah Said. Ia ingin membangun perkampungan semacam itu di Indonesia, meskipun tidak betul-betul persis seperti itu.
SYANGGIT adalah sebuah desa di Mauritania, berjarak sekitar 523 km dari Kota Nawakisyutt, ibukota Mauritania. Dari desa inilah kita memulai cerita panjang tentang sebuah harokah bernama Hidayatullah. Pada 1 Muharram 1443 Hijriah lalu, atau bertepatan dengan 10 Agustus 2021, harokah yang lahir pada 1 Muharam 1393 H ini genap berusia setengah abad.
Desa Syangit menjadi inspirasi awal bagi KH Abdullah Said, sang pendiri Hidayatullah, untuk membangun sebuah kampung peradaban Islam. Kampung yang ia cita-citakan ini sekarang telah berdiri, tepatnya di Gunung Tembak, Kelurahan Tritip, Kota Balikpapan, Kalimantan Timur.
Seperti apa gambaran Desa Syanggit? KH Mas Mansur, tokoh Muhammadiyah yang hidup pada kurun 1896-1946 M ini pernah mengunjungi desa tersebut saat beliau belajar di Mesir. Setelah kunjungan tersebut, ia menuliskannya dalam buku berjudul Mutu Manikam. Buku ini yang kemudian dibaca oleh KH Abdullah Said muda.
Desa Syanggit dipimpin seorang ulama bernama Syekh Sidi Abdullah. Desa ini dihuni oleh 5 ribu santri. Mereka tinggal di sebuah asrama besar yang terdiri atas 100 kamar yang luas.
Kegiatan para santri dimulai pukul 04.00, sebelum azan shubuh berkumandang. Santri-santri ini bangun, bersiap diri menjalankan shalat Subuh. Shalat diimami langsung oleh Syekh Sidi.
Setelah shalat Subuh, para santri masuk ke kamarnya masing-masing. Biasanya mereka tak tidur lagi. Mereka mengulang-ulang pelajaran yang telah diajarkan sebelumnya, kemudian mempersiapkan diri untuk mengikuti pelajaran di kelas.
Pukul 07.00 pelajaran dimulai hingga pukul 10.00. Selama tiga jam ini mereka berada di ruang kelas. Setelah itu mereka diperbolehkan belajar di luar kelas. Ada yang pergi ke tepi sungai, ada juga yang duduk di bawah pohon. Mereka membawa buku pelajarannya masing-masing. Kegiatan di luar kelas ini berlangsung hingga tiba waktu zuhur.
Setelah shalat zuhur, mereka makan siang. Setelah itu mereka tidur hingga pukul 15.30. Usai shalat ashar mereka latihan pidato dan berdebat.
Antara shalat maghrib dan Isya mereka diberi kebebasan untuk beribadah sendiri-sendiri. Ada yang tadarrus al-Quran, wirid, tafakkur, berdiskusi tentang hadits, ada juga yang menulis.
Selepas Isya mereka mengikuti pelajaran akhlak hingga pukul 23.00. Setelah itu, santri-santri shalat tahajjud hingga pukul 24.00. Usai shalat tahajjud barulah santri-santri diperkenankan masuk kamar masing-masing untuk tidur.
Demikian kegiatan penghuni desa ini setiap hari. Khusus pada hari Jumat mereka berolah raga: menunggang kuda, berenang, dan latihan perang-perangan.
Di tengah desa terdapat sebuah sungai. Di sekitar sungai itu penuh tanaman kurma dan tin. Ada juga ladang gandum.
Desa ini memiliki 100 ekor sapi dan 250 ekor kambing peliharaan. Ada juga beberapa ekor unta dan kuda. Itu semua milik Syekh Sidi.
Santri-santri setiap pagi mendapat suguhan segelas susu sapi. Pada tengah hari mereka mendapat lagi satu gelas susu sapi dengan satu potong roti, keju, serta zaitun.
Selepas ashar santri-santri tersebut mendapat gorengan korma beserta secangkir susu kambing. Setelah Isya mereka mendapat lagi suguhan setengah potong roti, tiga buah tin, dan setengah gelas susu sapi.
Lama belajar di pondok ini sekitar 5 tahun. Di antara 5 ribu santri, ada 500 orang penghafal Qur'an, dan hampir 1.000 orang yang menghafal kitab Muwatta karangan Imam Malik.
Kalau ada santri yang sakit dikeluarkan dari pondok untuk ditempatkan di ruang perawatan dan ditemani 2 orang yang ditunjuk oleh si sakit.
Semua santri pandai berenang dan menunggang kuda. Dan, hebatnya lagi, tak ada satu pun penghuni pondok yang terlihat merokok. Sebab, merokok memang dilarang keras di tempat ini.
Inilah desa pengkaderan yang diidam-idamkan KH Abdullah Said. Menurut penuturan Ust Mansyur Salbu, sahabat Abdullah Said, dalam bukunya berjudul Mencetak Kader, KH Abdullah Said berencana membangun perkampungan semacam itu di Indonesia, meskipun tidak betul-betul persis seperti itu.
KH Abdullah Said menginginkan desa tersebut menjadi tempat berkumpulnya ulama dan pakar. Mereka mengajar dan berdiskusi. Mereka semua menetap di sana, dibangunkan rumah tinggal yang nyaman, dan dicukupi biaya hidupnya. Pergaulan antar masyarakat akan diatur, pernikahan akan dimudahkan.
Di sana juga akan disiapkan perkebunan dan peternakan kambing dan sapi. Lingkunganya akan ditata rapi sehingga penghuninya akan betah berlama-lama tinggal di sana.
Namun, wadah pengkaderan yang dibayangkan KH Abdullah Said bukan seperti trening centre di mana orang akan datang dan pergi. Wadah tersebut harus berwujud perkampungan di mana orang-orang akan menetap.
Cita-cita membangun perkampungan seperti ini sebenarnya pernah pula dilontarkan oleh KH Mas Mansur saat Kongres Muhammadiyah ke-29 di Yogyakarta tahun 1941. Di kongres itu, Mas Mansur bercerita panjang lebar tentang lembaga pendidikan yang dilihatnya di Syanggit, desa yang sama dengan apa yang diidam-idamkan oleh Abdullah Said.
"Mungkinkah Muhammadiyah membuat lembaga pendidikan seperti itu?" tanya Mas Mansur kepada peserta kongres saat itu.
Usulan Mas Mansyur ternyata disetujui oleh kongres. Namun, wujudnya tidak sama dengan apa yang diusulkan Mas Mansur. Lembaga pendidikan yang dibuat berbentuk Perguruan Tinggi Islam (Universitas Muhammadiyah) sesuai usulan Konsul Muhammadiyah Surakarta, Mulyadi Joyomartono.
Belajar dari kisah Mas Mansur ini, KH Abdullah Said sadar bahwa tak mudah mewujudkan rencana yang ia cita-citakan. Keadaan di Syanggit berbeda dengan di Indonesia. Syekh Sidi, pemilik Syanggit, adalah orang kaya. Di Indoensia, figur seperti Syekh Sidi ketika itu sangat sulit dijumpai.
Namun, tekad KH Abdullah Said sudah bulat. Ia memang bukan saudagar kaya sebagaimana Syekh Sidi. Ia hanya punya semangat dan keyakinan bahwa Allah Ta'ala akan menolong hamba-Nya yang berjuang menegakkan agama-Nya.
Di penghujung tahun 1969, KH Abdullah Said hijrah meninggalkan kampung halamannya di Sulawesi Selatan menuju Balikpapan, Kalimantan Timur. Di tempat hijrah inilah ia mulai mewujudkan cita-citanya itu. *** (Bersambung)
Penulis: Mahladi Murni