Alasan Kemenhan Pilih Rafale dan F-15 IX untuk Perkuat TNI AU
Rencananya Indonesia akan membeli 42 jet tempur Dassault Rafale buatan Prancis.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekjen Kementerian Pertahanan, Marsdya TNI Donny Ermawan Taufanto mengungkapkan alasan Kemenhan RI melakukan rencana pengadaan puluhan pesawat tempur Rafale dan F-15 IX. Ia menyebut, hal tersebut adalah salah satu upaya pemerintah dalam memperkuat matra udara, yakni TNI Angkatan Udara.
"Rencana pengadaan pesawat tempur, baik Rafale dan F-15 IX beserta persenjataannya merupakan salah satu langkah yang dilakukan oleh pemerintah yang harus dilihat dalam konteks pembangunan kekuatan komponen utama khususnya matra udara," kata Donny dalam diskusi virtual yang digelar oleh Pusat Studi Air Power Indonesia, Kamis (17/2).
Donny menjelaskan, kondisi alutsista TNI sebagai komponen utama, baik matra darat, laut, dan udara dalam keadaan yang cukup memprihatinkan. Sehingga, mengakibatkan kesiapan tempur yang rendah.
Dia menuturkan, alat utama sistem senjata, perlengkapan, dan amunisi pun banyak mengalami kerusakan. Bahkan, katanya, sebagian besar alutsista dan persenjataan telah berusia lebih dari 25 tahun dan sudah waktunya untuk diganti.
"Usia yang sudah cukup tua tersebut juga menjadi tolok ukur kualitas dan teknologi yang cukup ketinggalan bila dihadapkan dengan alutsista beberapa negara tetangga," ujar dia.
"Dengan kondisi tersebut, maka pembangunan sistem pertahanan negara baik komponen utama, komponen cadangan, dan komponen pendukung mutlak harus dilakukan," tambahnya menjelaskan.
Donny melanjutkan, kondisi kesiapan pesawat tempur dalam beberapa tahun belakangan ini juga mengalami kemunduran. Ia mencontohkan, pesawat tempur F5 yang sudah tidak dioperasikan dalam beberapa tahun terakhir dan hingg saat ini belum ada penggantinya.
"Menyusul pesawat Hawks 100 dan 200 yang sudah berusia lebih dari 25 tahun dan dalam kondisi tingkat kesiapan yang rendah tentunya akan memasuki masa purna tugas beberapa tahun mendatang," ungkap Donny.
Ia menyebut, Indonesia saat ini hanya mengandalkan 33 pesawat F-16 AM, BM, C dan D yang sudah berusia lebih dari 30 tahun serta 16 pesawat Sukhoi 27 dan 30 dengan usia hampir 20 tahun sebagai pesawat tempur utama. Kondisi kesiapan pesawat tempur Indonesia juga diperparah dengan keterbatasan beberapa suku cadang pesawat serta keterbatasan jenis dan jumlah peluru kendali. Hal ini menyebabkan kesiapan tempur pesawat F-16 dan Sukhoi 27, 30 tidak maksimal.
"Dengan kondisi yang demikian menjadi kewajiban Kementerian Pertahanan untuk merencanakan pesawat tempur yang akan bertugas di tahun 2030 dan 2040-an," jelasnya.
"Proses pengadaan pesawat tempur beserta persenjataannya yang cukup panjang waktunya paling cepat lima tahun mengharuskan pemerintah untuk mengadakannya pada Renstra (Rencana Strategis) 2020-2024, jika pesawat tempur tersebut akan dioperasionalkan pada tahun 2030-an," imbuhnya.
Oleh karena itu, menurut dia, Renstra 2020-2024 dalam pengadaan alutsista baru merupakan hal yang penting. "Kegagalan untuk mengadakan pesawat tempur beserta persenjataannya pada Renstra ini akan menyebabkan semakin berkurangnya jumlah skadron udara yang siap tempur. Dengan demikian, Renstra 2020-2024 merupakan periode yang kritis dalam upaya mempertahankan kesinambungan kemampuan skadron tempur," tutur dia.
Sebelumnya diberitakan, Menteri Pertahanan Republik Indonesia, Prabowo Subianto menerima kunjungan dari Menteri Angkatan Bersenjata Prancis, Florence Parly, di Kantor Kemenhan, Jakarta Pusat, Kamis (10/2/2022). Prabowo menyebut, dalam pertemuan itu, kedua negara membahas beberapa hal secara mendalam, salah satunya adalah terkait kerja sama di bidang alutsista.
Prabowo menyebut, Indonesia merencanakan pembelian alutsista yang cukup signifikan untuk multirole combat aircraft. Dia mengungkapkan, rencananya Indonesia akan mengakuisisi 42 jet tempur Dassault Rafale buatan Prancis.
"Kita rencananya akan mengakuisisi 42 pesawat Rafale. Kita mulai hari ini dengan tanda tangan kontrak pertama untuk enam pesawat," kata Prabowo.
Mantan Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) Marsekal TNI (Purn) Chappy Hakim menuturkan, yang harus dipahami terlebih dahulu dalam pengadaan alutsista adalah bahwa pesawat terbang hanyalah salah satu sub sistem dari sebuah sistem besar bernama sistem pertahanan udara. Dia menjelaskan, sistem pertahanan udara merupakan bagian integral dari sistem keamanan nasional dan pertahanan negara.
"Dengan demikian proses pengadaan pesawat terbang tempur pada hakikatnya sebuah upaya meningkatkan kemampuan sistem pertahanan udara nasional. Dalam hal ini unsur pesawat terbang tempur sekali lagi hanya merupakan salah satu saja dari sub-sub sistem pertahanan udara nasional lainnya," kata Chappy, Kamis.
Menurut Chappy, apabila Indonesia memang sedang berupaya meningkatkan kemampuan sistem pertahanan udara, maka masih ada masalah yang lebih mendesak atau urgen dari pengadaan pesawat terbang tempur baru. Sebab, ia mengungkapkan, fakta bahwa beberapa wilayah udara di Tanah Air masih berada di posisi yang rawan karena belum sepenuhnya berada dalam kekuasaan Indonesia.
"Realita dari sebagian wilayah udara kita yang berada di posisi rawan di Perairan Selat Malaka, Natuna, dan Kepulauan Riau misalnya, masih belum berada dalam kekuasaan RI. Wilayah udara tersebut sangat beririsan dengan kawasan rawan konflik di Laut China Selatan sekarang ini," ujarnya.
Chappy menjelaskan, wilayah udara merupakan subsistem penting dari konsep pertahanan udara sebagai sebuah sistem. Wilayah udara dan sistem pengendaliannya, kata dia, adalah komponen yang menentukan dalam sebuah konsep pertahanan udara.
"Kedua subsistem yang sangat dominan itu, wilayah udara dan pengendaliannya, justru kini tidak berada di bawah kekuasaan RI. Artinya adalah menyelesaikan terlebih dahulu wilayah udara kedaulatan kita dan wewenang pengendaliannya jauh lebih urgent daripada sekadar pengadaan pesawat terbang tempur baru," ungkap dia.
Chappy melanjutkan, wewenang pengendalian wilayah udara kedaulatan yang kini sudah berbasis satelit akan sangat melekat dengan peran command and control system dalam perang modern. Sebab, jelas dia, kini dunia telah berada di tengah era sistem yang berpusat pada jaringan.
Oleh karena itu, ia menilai, jika wilayah udara dan sistem pengendaliannya belum sepenuhnya berada di tangan Indonesia, maka banyaknya pesawat tempur yang dimiliki pun akan menjadi sia-sia. Sebab, pesawat-pesawat tersebut tidak dapat dengan bebas melakukan latihan dan operasi di wilayah udara Indonesia.
"Ratusan pesawat yang kita miliki pun bila tidak dapat menjalankan latihan dan operasi udara di wilayah kedaulatan kita sendiri dengan bebas, maka akan percuma alias sia-sia belaka. Sebuah masalah rumit yang tengah kita hadapi sebagai akibat dari masalah teknis penerbangan yang diselesaikan pada ranah politik," tutur dia.