Studi: Islamofobia Semakin Berkembang di Amsterdam

Komunitas Muslim di Amsterdam melaporkan alami diskriminasi

Flickr
Warga Muslim Belanda, ilustrasi
Rep: Zahrotul Oktaviani Red: Agung Sasongko

REPUBLIKA.CO.ID, AMSTERDAM -- Komunitas Muslim di Amsterdam melaporkan perkembangan kasus islamofobia. Dalam sebuah penelitian tentang Islamofobia yang dilaporkan media lokal, Het Parool, disebutkan banyak siswa tidak dapat menemukan lokasi magang karena agama mereka.

Baca Juga


Tak hanya itu, beberapa wanita Muslim yang mengenakan jilbab juga terkena perundungan, sementara banyak yang harus menghadapi ujaran kebencian di media sosial tanpa ada yang memberikan perhatian.

Dilansir di NL Times, Senin (21/2), banyak responden yang menyebut normalisasi Islamofobia sebagai masalah besar dalam hidup, yang tidak bisa mereka pertahankan lagi. Pada titik tertentu, para peneliti menyebut mereka memilih untuk "belajar menjalaninya".

Peneliti juga menambahkan hasil penelitian ini terlalu kecil untuk kondisi yang sulit. Namun, setidaknya hal ini memberikan wawasan yang baik tentang bagaimana Muslim Amsterdam mengalami diskriminasi.

Di sekolah, anak-anak dan remaja dihadapkan pada pernyataan dan reaksi Islamofobia dari guru maupun murid lainnya. Hampir semua responden mengatakan mereka kesulitan mencari lokasi magang, sementara teman sekelas kulit putih mereka berhasil melakukannya.

Tren berlanjut di pasar tenaga kerja, di mana responden melaporkan penolakan karena nama keluarga dan latar belakang. Mereka juga menghadapi pertanyaan yang sama sekali tidak relevan dalam wawancara kerja.

 

 

Pertanyaan yang dimaksud di antaranya tentang perasaan mereka tentang hubungan gender, terorisme, LGBTQI+, atau kesetiaan mereka kepada Belanda. Jika mereka mengeluh, mereka dituduh tidak bisa bercanda atau memainkan kartu rasisme.

Muslim wanita yang memakai jilbab mengatakan mereka sering mengalami pelecehan. Beberapa laporan bahkan menyebut mereka diludahi atau diserang oleh orang tak dikenal.

Di transportasi umum dan toko, banyak Muslim merasa diabaikan atau terus-menerus diawasi oleh staf karena penampilan mereka.

Sementara di media sosial, umat Islam menghadapi begitu banyak ujaran kebencian, sehingga beberapa orang memutuskan untuk menebalkan kulit. Di sisi lain, banyak yang mengatakan tidak akan pernah terbiasa dan merasa tidak dapat mengerti mengapa jenis diskriminasi ini hampir selalu terjadi tanpa sanksi.

Menurut para peneliti, responden percaya normalisasi Islamofobia didorong oleh meningkatnya pengaruh spektrum politik ekstrem kanan.

Tak hanya itu, dalam studi ini disebutkan media juga berperan dalam perkembangannya. Banyak responden mengatakan cara Muslim digambarkan memiliki efek polarisasi dan berkontribusi pada citra diri yang negatif.

 

Komunitas Muslim juga disebutkan memiliki peran dalam hal ini. Beberapa responden mengatakan para pengkhotbah terkadang merugikan masyarakat, dengan memperbesar perbedaan antara Amsterdam yang sekuler dan Muslim.

Terakhir, para peneliti mengatakan Kotamadya Amsterdam perlu berbuat lebih banyak untuk meminta pertanggungjawaban majikan dan agen tenaga kerja atas diskriminasi. "Studi ini memperjelas diskriminasi Muslim sangat mempengaruhi dan menghambat banyak warga Amsterdam setiap hari," kata anggota dewan, Rutger Groot Wassink. 

 

Ia juga menyebut hasil studi ini berisi wawasan yang berguna, sekaligus menyakitkan yang menggambarkan lingkungan mereka. Rekomendasi yang dituliskan memiliki nilai tambah bagi kebijakan kota. 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler