Sidebar

Kisah Haji: Pengalaman Junaid al-Bagdadi Mendekati Pemuda Taat 

Tuesday, 22 Feb 2022 07:23 WIB
Kisah haji: Pengalaman Junaid al-Bagdadi Mendekati Pemuda Taat. Foto: Memberi nasihat merupakan anjuran agama (ilustrasi).

IHRAM.CO.ID,JAKARTA--Abdurrahman Ahmad As-Sirbuny mengisahkan, pengalaman Syekh Junaid al-Bagdadi Rah saat pergi haji ke Baitullah dan menziarahi Nabi saw. Di tengah perjalanan tiba-tiba kudengar suara rintihan yang sangat menyayat hati. 

Baca Juga


"Aku menduga, tentulah suara itu datang dari hati seseorang yang hancur," tutur Syekh Junaid seperti ditulis Abdurrahman Ahmad As-Sirbuny dalam bukunya 198 Kisah Haji Wali-Wali Allah.

Syekh Junaid al-Bagdadi pun mencari-cari sumber suara itu. Ternyata rintihan itu keluar dari mulut seorang pemuda yang sangat kurus, lemah, tetapi wajahnya bercahaya terang seperti bulan."

"Aku mendekatinya, dia membuka matanya dan langsung mengucapkan,"Assalamu  'alaikum, ya Abul Qasim!"

“Waalaikumus salam!" jawabku penuh keheranan.

"Nak, siapakah yang memberitahu namaku kepadamu, sedangkan kita belum pernah mengenal satu sama lain?”

Pemuda itu berkata, “Wahai, Abul Qasim! Aku telah mengenalimu sejak di alam ruh. Allah yang memberiku namamu. Demi Allah, wahai Abul Qasim, kalau aku sudah mati, mandikan dan bungkuslah aku dengan baju yang kupakai ini. Naiklah ke bukit itu. Panggillah orang-orang untuk menshalatiku, lalu kuburkanlah aku di tempat ini pula! Hanya Allah yang akan membalas segala kebaikanmu."

Junaid al-Bagdadi menyaksikan anak muda itu penuh berkeringat di dahinya, sehingga membasahi seluruh wajahnya. Suaranya semakin menekan kesakitan, tetapi dia masih sempat berpesan lagi.

"Wahai, Abul Qasim! Setelah engkau selesai menunaikan hajimu, dan sudah kembali ke negerimu, hendaklah engkau pergi ke Bagdad, dan tanyakanlah kepada orang-orang di sana tentang kampung Darb Za'faran. Setelah tiba di kampung itu, tanyakanlah tentang ibuku dan putraku, serta sampai-kanlah salam kepada mereka!"

“Baiklah," jawabku.

Rintihan anak muda itu semakin melemah, dan tidak lama kemudian dia berpulang ke rahmatullah dengan tenang. Wajahnya tampak semakin bercahaya. Aku pun memandikannya, mengafaninya dengan bajunya. 

Setelah urusan itu selesai, aku pun naik ke atas bukit dan berseru dengan suara keras,"Wahai, manusia! Marilah kita menshalati mayat orang asing ini!"

Tiba-tiba datanglah beribu-ribu orang dari segenap penjuru, seperti ulat layaknya. Wajah-wajah mereka bagaikan cahaya bulan purnama. 

Kami pun bersama-sama menshalati mayat itu, kemudian menguburkannya. Setelah selesai penguburan mayat itu, maka dengan sertamerta hilanglah ribuan orang tadi tanpa ada bekasnya sebagaimana kemunculannya. 

"Aku benar-benar heran atas kejadian itu, uga atas kemuliaan mayat yang tidak kukenal sebelumnya," katanya.

Seusai haji, aku segera pergi ke Bagdad, dan terus menuju ke kan pung Darb Za'faran. Setibanya di sana, terlihat di lorong-lorong keci kampung itu ada anak-anak sedang bermain-main. Tiba-tiba seseorang di antara mereka memandang tajam kepadaku. 

Dia mendekatiku dan berkata,"Assalamu 'alaikum, ya Abul Qasim! Mungkin kedatanganmu untuk memberitahu tentang kematian ayahku?"

Hatiku terkejut mendengar pertanyaan anak kecil itu. Sungguh tepat apa yang dikatakannya. Padahal dia masih demikian kecil. Dia kemudian menuntunku ke sebuah rumah, lalu mengetuk pintunya.

Seorang wanita tua membukakan pintu. Alangkah jelas wajah kesalehan wanita itu. Setelah kuucapkan salam dan dia membalasnya, dia menangis terisak-isak. Di tengah isak tangisnya, dia bertanya, “Wa-hai, Abul Qasim! Di manakah tempat kematian anakku dan cahaya mataku? Semoga dia mati di Arafah!"Aku begitu terkejut dan menjawab,“Tidak!"

“Apakah di Mina?!” dia bertanya lagi.

"Tidak!" jawabku.

“Di Muzdalifah?!”

“Tidak.”

“Lalu di mana? Apakah di padang pasir, di bawah pohon ghailan?"

“Ya,"jawabku.

Mendengar berita itu dia menjerit keras,“Oh, anakku! Oh, anakku!” Suaranya bercampur tangisan yang sungguh menyayat hati semua orang yang di situ. “Oh! Anakku! Mengapa tidak disampaikannya ke rumah-Nya (Baitullah), atau dibiarkan-Nya saja dia dengan kami?”

Ibu itu terus sesak dadanya, dan ketika itulah dia mengembuskan nyawanya.

Melihat neneknya yang telah meninggal dunia, anak kecil itu pun mendekati mayatnya sambil menangis terisak-isak. Kemudian mene-ngadah ke arah langit seraya berdoa, “Ya Allah, ya Rabb, Mengapa Engkau tidak mengambilku bersama nenekku! Ya Allah, lebih baik Engkau ambil nyawaku untuk pergi bersama mereka!"

Tiba-tiba saja sesaklah dada anak kecil itu, dan dia pun mengembuskan napasnya yang terakhir. Semoga Allah merahmati mereka sekalian.

Aku benar-benar takjub menyaksikan segala kejadian tadi. Alangkah bahagianya keluarga itu. Aku pun mengurus kedua jenazah itu bersama para tetangga mereka. Setelah menguburkan jenazah keduanya, dengan hari yang penuh sedih dan iba, aku meninggalkan kubur mereka dengan menyebut Asma-Nya tiada henti.

 

Berita terkait

Berita Lainnya