Konflik Rusia-Ukraina, Begini Dampaknya ke Pasar Finansial Indonesia
Peningkatan ketegangan akan memicu kenaikan harga energi dan berbagai komoditas.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketegangan antara Rusia dan Ukraina kembali menjadi sorotan publik dunia akhir-akhir ini. Invasi dan aksi militer yang terjadi belum lama ini bahkan turut berdampak terhadap pergerakan pasar keuangan termasuk di Indonesia.
Chief Economist & Investment Strategist PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI), Katarina Setiawan, mengatakan situasi yang diakibatkan oleh konflik kedua negara tersebut langsung mendapat reaksi negatif dari pasar. Indeks pasar keuangan di berbagai negara menunjukkan penurunan. Sedangkan harga minyak dan emas mengalami kenaikan.
Menurut Katarina, hal ini terjadi karena Rusia merupakan salah satu pengekspor energi, produk pertanian, dan logam terbesar di dunia. Ia memprediksi peningkatan ketegangan akan memicu kenaikan harga energi dan berbagai komoditas serta nilai tukar dolar AS, yang tentunya akan berdampak pada peningkatan inflasi.
"Efek domino dari peningkatan inflasi di tengah tingginya angka inflasi global akhir-akhir ini yaitu memicu terjadinya kenaikan imbal hasil US Treasury yang akan berdampak terhadap pasar finansial dunia," ujar Katarina melalui keterangan resminya, dikutip Jumat (25/2/2022).
Lebih lanjut Katarina menjelaskan, berdasarkan pengalaman sebelumnya, dampak perang terhadap perekonomian akan berbeda-beda. Beberapa faktor yang mempengaruhi besar kecilnya dampak perang terhadap pasar, yaitu negara yang terlibat dalam peperangan, skala dan periode perang, serta kondisi perekonomian negara-negara yang terlibat dan kawasan konflik.
Sebagai contoh, perang dunia kedua (PD II) memiliki dampak yang jauh lebih besar dibandingkan perang di Siria pada 2017. Sebab, PD II melibatkan banyak negara dan berlangsung dalam periode yang panjang. Dibandingkan perang dunia kedua, ketegangan antara Rusia dengan Ukraina lebih terbatas dari segi wilayah, sehingga dampaknya diprediksi akan relatif terbatas.
Biasanya, dampak terhadap pasar finansial akan lebih singkat dibandingkan dampak terhadap perekonomian. Ketika Korea Utara melakukan invasi ke Korea Selatan selama tiga tahun, sejak 25 Juni 1950 hingga 27 Juli 1953, dalam 23 hari pasar finansial global turun sampai ke titik terendah, namun kemudian kembali pulih dalam 82 hari.
Katarina juga menjelaskan dampak ketegangan Rusia dan Ukraina terhadap Asia dan Indonesia. Kawasan Asia memiliki tingkat inflasi yang jauh lebih rendah dibandingkan Amerika Serikat. Sehingga, inflasi masih akan tetap berada dalam kisaran yang terkendali di tengah dampak kenaikan harga energi dan berbagai komoditas.
"Perekonomian dan pasar finansial Indonesia akan relatif lebih terinsulasi dari dampak konflik Rusia dan Ukraina. Inflasi Indonesia yang masih relatif rendah, pada kisaran 2,18 persen, diperkirakan akan tetap terjaga di bawah 4 persen - yang merupakan rentang atas acuan Bank Indonesia," jelas Katarina.
Selain itu, sebagai negara produsen dan eksportir energi, komoditas, dan logam terkemuka di dunia, Indonesia juga diuntungkan dari kenaikan harga produk-produk tersebut. Fundamental perekonomian Indonesia yang kuat, antara lain ditunjukkan dengan surplus neraca transaksi berjalan, peningkatan cadangan devisa, nilai tukar rupiah yang stabil, dan perbaikan pertumbuhan ekonomi, membuat Indonesia lebih resilien menghadapi goncangan jangka pendek dari ketegangan geopolitik ini.
Kembali melihat sejarah, bank sentral biasanya menahan diri dari menaikkan suku bunga secara berlebihan selama periode perang, dan lebih memilih untuk mengendalikan inflasi dengan gabungan cara-cara lain. The Fed akan tetap data-dependent dalam mengambil keputusan.
Di tengah kondisi pasar yang fluktuatif, Katarina menyarankan investor untuk melakukan diversifikasi portofolio pada produk-produk reksa dana yang dikelola secara aktif. Saat ini situasi masih sangat cair dan risiko geopolitik dapat mendominasi sentimen pasar dalam jangka pendek.
"Portofolio yang terdiversifikasi dan dikelola secara aktif dapat menjadi pilihan untuk melindungi investasi dari inflasi serta volatilitas yang tinggi yang dipicu ketegangan geopolitik dalam jangka pendek," tutup Katarina.