Perang Rusia-Ukraina dan Menolak Perang di Masa Pra-Islam
Perang sering terjadi di bangsa Arab pada zaman pra-Islam. Karena itu para pembesar berkumpul melakukan kesepakatan demi keadilan.
Sumber Foto: Republika
NYANTRI--Perang Rusia-Ukraina pecah. Ratusan warga sipil Ukraina dikabarkan tewas dan ratusan ribu mengungsi ke sejumlah negara terdekat. Dunia Internasional merespon invasi yang dilakukan Rusia ke Ukraina. Mereka ramai-ramai menolak perang dan mendesak genjatan senjata. Dunia ingin mengedepankan perdamaian daripada pertumpahan darah.
Pada zaman pra-Islam, sejumlah tokoh Quraisy sudah menolak perang. Mereka ingin jalan dialog dan perdamaian lebih baik daripada peperangan.
Pada zaman Nabi muda, sekitar umur 20 tahunan, Nabi sudah ikut perang fijr yang terjadi karena perselisihan kubu Kinanah yang bersekutu dengan orang Quraish melawan orang Qais. Hal ini terjadi di pasar Ukkaz. Sebab terjadinya perang ini, karena salah satu dari orang Kinanah yang bernama al-Barradl membunuh tiga orang lelaki dari kubu Qais secara tiba-tiba. Dari kabar itulah, kemudian melutuslah peperangan antara keduanya. (Shafi al-Rahman al-Mubarakfuri, al-Rahiq al-Makhtum, Kairo: Dar al-Ghad al-Jadid, 2012, hlm 64). Peristiwa seperti ini sebenarnya tidak terjadi sekali, bangsa arab kerap kali berselesih dengan sebab yang sepele.
Akibat sering terjadi perang tersebut, para pembesar berkumpul melakukan kesepakatan demi keadilan di tanah suci pada bulan Dzul Qa’dah. Persekutuan tersebut dinamakan dengan Hilf al-Fudhul.
Pada waktu itu, sekembaliannya orang Quraisy dari perang Fijr, mereka memanggil anggotanya yang kemudian disebut Hilf al-Fudhul untuk berkumpul dan menyelesaikan suatu masalah di rumah ‘Abdullah bin Jud’an al-Taimy, salah satu pemimpin kaum Qurisy. Di antara aliansi yang berkumpul itu adalah Bani Hasyinm, Bani Muththalib bin ‘Abd Manaf, Bani Asad ibn ‘Abdul Uzza, Bani Zahrah bin Kilab, Bani Taim bin Murrah, mereka saling sepakat dan melakukan perjanjian yang berisi:
أَلَا يَجِدُوا بِمَكَّة مَظْلُوْمًا مِنْ أَهْلِهَا اَوْ مِنْ غَيْرِهِمْ مِنْ سَائِرِ النَّاسِ إِلَّا قَامُوْا مَعَهُ حَتَّى تُرَدَّ إِلَيْهِ مَظْلَمَتُهُ
“Tidak akan ditemukan sebuah kedzaliman di Makkah, baik penduduk asli atau penduduk selain Mekkah, kecuali mereka berdiri bersama orang tersebut sampai dibalas kedzalimannya.”
Isi perjanjian tersebut menandakan jika bangsa Quraish dulu sangat mengecam perilaku aniaya karena dapat merugikan seseorang serta memikirkan kestabilan tanah suci pada waktu itu yang menjadi salah satu pusat ekonomi, yaitu pasar Ukkaz.
Pertemuan tersebut dihadiri oleh Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam beserta paman-pamanya. Rasulullah berkata, setelah Allah menganggangkatnya menjadi Rasul. Beliau bersabda:
“Sesungguhnya aku menyaksikan sendiri beserta pamanku sebuah persekutuan (Hil al-Fudhul) di rumah ‘Abdullah bin Jud’an yang mana itu lebih disukai dari pada unta merah. Seandainya aku diajak dalam perundingan tersebut di masa Islam, maka aku akan menyetujuinya.”
Hal itu, karena sesungguhnya Rasul diutus dengan kemulian akhlak. Maka sikap para Hilf al-Fudhul itu cerminan dari akhlak. Serta agama Islam memang banyak sekali membenarkan perilaku-perilaku yang berdasarkan atas akhlak. Dalam sebuah hadith, Rasulullah sallallhu ‘alahi wa sallam bersabda. “Aku diutus untuk menyempurnakan akhlak.” Nabi seringkali mengajak orang-orang untuk melakukan persekutuan atau kesepakatan bersama.
(Muhammad Khadlri Bik, Nurul Yaqin, Jakarta, Dar al-Kutub, al-Islami, 2010, Hlm 14-15)
Penulis: Ahmad Fatoni