Korea Selatan, Kiblat K-Pop dan Teknologi yang Hadapi Islamofobia Ganas
Muslim di Korea Selatan hadapi ancaman xenofobia dan Islamofobia
REPUBLIKA.CO.ID, DAEGU—Di dalam sebuah rumah dengan pencahayaan minim di lingkungan Daehyeon-dong, Kota Daegu, Korea Selatan, para pemuda Muslim berlutut dan sholat bersama.
Tapi di luar bangunan itu, tetangga Korea mereka berkumpul dan menunjukkan spanduk protes yang menuduh bangunan ibadah Muslim sebagai sarang teroris dan meminta mereka segera pindah.
Kebuntuan yang sangat emosional memang sedang berlangsung. Sekitar 150 Muslim, sebagian besar mahasiswa di Universitas Nasional Kyungpook di dekatnya, mulai membangun sebuah masjid di lahan yang bersebelahan dengan rumah ibadah sementara mereka sekitar setahun yang lalu. Tapi ketika tetangga Korea mereka tahu, mereka sangat marah.
"Masjid itu akan mengubah lingkungan Daehyeon-dong menjadi daerah kantong Muslim dan daerah kumuh yang dipenuhi kejahatan,” tulis tetangga Korea di papan tanda dan spanduk protes dilansir dari Newyork Times, Selasa (1/3/2022).
"Itu akan membawa lebih banyak kebisingan dan bau makanan dari budaya asing," kata warga lokal menunjukkan pengusiran.
Tapi mahasiswa Muslim dan pendukung dari warga Korea lain juga melawan dengan alasan bahwa mereka memiliki hak untuk hidup dan berdoa dalam damai di Daegu, salah satu kota paling konservatif secara politik di Korea Selatan.
“Ada perbedaan antara protes dan pelecehan. Apa yang mereka lakukan adalah pelecehan,"kata Muaz Razaq (25 tahun), PhD. mahasiswa ilmu komputer yang berasal dari Pakistan.
Konflik ini telah mengungkap kebenaran yang tidak nyaman di Korea Selatan. Pada saat negara itu menikmati pengaruh global yang lebih besar dari sebelumnya dengan konsumen di seluruh dunia yang ingin menari mengikuti musiknya, mengendarai mobilnya, dan membeli ponselnya.
Baca juga: Tentara Israel Paksa Diplomat Muslim Taiwan Baca Alquran
Negara itu juga bergulat dengan gelombang semangat anti-imigran dan Islamofobia yang ganas. Meski berhasil mengekspor budayanya ke luar negeri, namun lambat menyambut budaya lain di dalam negeri.
Perselisihan masjid telah menjadi titik nyala, bagian dari fenomena yang lebih besar di mana warga Korea Selatan harus menghadapi apa artinya hidup dalam masyarakat yang semakin beragam.
Kaum Muslim sering menanggung beban rasa was-was rasialis, terutama setelah Taliban mengeksekusi dua misionaris Korea Selatan pada 2007.
Kedatangan 500 pencari suaka Yaman di pulau Jeju pada 2018 memicu rangkaian protes anti-imigran terorganisir pertama di Korea Selatan.
Pemerintah menanggapi kekhawatiran bahwa para pencari suaka menyembunyikan teroris dengan melarang mereka meninggalkan pulau itu.
“Aturan mereka tentang jilbab saja sudah cukup menjadi alasan bahwa mereka tidak boleh menginjakkan kaki di negara kita,” kata Lee Hyung-oh, pemimpin Refugee Out, sebuah jaringan anti-imigrasi nasional yang menentang masjid di Daegu.
Banyak orang Korea menjelaskan sikap mereka terhadap orang asing dengan mengutip sejarah, bahwa negara kecil mereka telah bertahan dari invasi dan pendudukan selama berabad-abad, mempertahankan wilayah, bahasa, dan identitas etnisnya.
Mereka yang menentang masjid dan imigrasi secara lebih luas sering memperingatkan bahwa masuknya orang asing akan mengancam “darah murni” dan “homogenitas etnis” Korea Selatan.
“Kami mungkin terlihat eksklusif, tetapi itu telah menjadikan kami apa adanya, mengkonsolidasikan kami sebagai bangsa untuk bertahan dari perang, pemerintahan kolonial dan krisis keuangan dan mencapai pembangunan ekonomi sambil berbicara dalam bahasa yang sama, memikirkan pemikiran yang sama,” kata Mr Lee.
“Saya tidak berpikir kita bisa melakukan ini dengan keragaman. Kami tidak xenofobia. Kami hanya tidak ingin bercampur dengan orang lain," tambahnya.
Tapi seorang profesor sosiologi di Universitas Nasional Kyungpook yang mendukung Masjid Yi Sohoon justru menyebut, memang ada perlakuan berbeda kepada orang asing di antara masyarakat Korea Selatan.
“Orang Korea memiliki keyakinan xenofobia yang mengakar bahwa orang asing lebih rendah,” kata Yi Sohoon, seorang profesor sosiologi di Universitas Nasional Kyungpook yang mendukung masjid tersebut.
“Tapi mereka menilai orang asing berbeda menurut asalnya. Mereka memperlakukan orang kulit hitam dari Amerika Serikat atau Eropa secara berbeda dari orang kulit hitam dari Afrika," ujar dia.
Jumlah penduduk asing di Korea Selatan tumbuh menjadi 1,7 juta, atau 3,3 persen dari total populasi, pada tahun 2020, dari 1,4 juta pada 2017.
Baca juga: 3 Tanda yang Membuat Mualaf Eva Yakin Bersyahadat
Pemerintah telah memperkirakan bahwa jumlah tersebut akan tumbuh menjadi 2,3 juta pada tahun 2040. pertama kali tercatat pada 2021, meningkatkan kebutuhan tenaga kerja asing dan mahasiswa.
“Manusia secara alami bias, tetapi jangan biarkan bias membuat Anda merampas hak asasi manusia orang lain,” kata Ashraf Akintola, Ph.D. mahasiswa teknik biomedis dari Nigeria dan salah satu jamaah Muslim di Daegu.
Akintola mengatakan dia merasa sedih ketika seorang pengunjuk rasa Korea mengikutinya tahun lalu sambil berteriak, “Tinggalkan negara kami!," padahal di Nigeria, katanya, K-pop sangat populer sehingga teman-temannya belajar bahasa Korea.
Sumber: nytimes