Mendikbudrstek Perlu Turun Tangan Selesaikan Konflik SBM ITB

Mendikbudristek sebagai anggota MWA perlu menjembatani untuk mencari solusi.

Republika/Rakhmawaty La'lang
Ketua DPP PDIP Andreas Hugo Pareira mengatakan, Mendikbudristek harus turun tangan menyelesaikan konflik antara SBM ITB dan ITB.
Rep: Febrianto Adi Saputro Red: Agus Yulianto

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi X DPR RI Andreas Hugo Pareira menyikapi, perseteruan antara Forum Dosen Sekolah Bisnis Manajemen Institut Teknologi Bandung (SBM ITB) dan rektor ITB akibat dicabutnya status Swakelola SBM ITB. Dia meminta, Mendikbudristek turun tangan selesaikan konflik tersebut.


"Kasus perseteruan antara Forum Dosen Sekolah Bisnis Manajemen (SBM) ITB dan Rektor ITB akibat dicabutnya status Swakelola SBM ITB sudah terlalu mendalam dan berdampak bagi kerugian dunia Pendidikan Tinggi, khususnya bagi mahasiswa yang sedang mengikuti proses perkuliahan," kata Andreas kepada wartawan, Kamis (10/3).

Andreas mengatakan, SBM ITB yang sudah beroperasi selama 18 tahun dengan status swakelola dan telah mencapai reputasi internasional mengalami konflik internal yang berakibat mundurnya dekan dan mogok mengajar dosen-dosennya tentu akan berdampak pada kepercayaan publik terhadap SBM. Oleh karena itu, Mendikbudristek sebagai anggota Majelis Wali Amanah (MWA) perlu  menjembatani untuk mencari solusi atas konflik yang sangat tidak menguntungkan kepentingan SBM.

"Bagaimana dengan nasib para mahasiswa yang sedang mengikuti proses pendidikan, apabila konflik ini berkepanjangan?" tanya politikus PDIP tersebut.

Sebelumnya diberitakan Forum Dosen SBM ITB (FD SBM ITB) menyatakan tidak beroperasi seperti biasanya mulai Selasa (8/3). Proses belajar mengajar pun tidak dilaksanakan secara luring maupun daring. Namun, mahasiswa diminta untuk belajar mandiri.

"Dengan berbagai pertimbangan, FD SBM ITB juga menyatakan tidak akan menerima mahasiswa baru sampai sistem normal kembali," ujar Perwakilan dan Juru Bicara Forum Dosen SBM, Achmad Ghazali, kepada wartawan, Rabu (9/3).

Ghazali menjelaskan, keputusan ini diambil karena kebijakan rektor ITB saat ini, tidak memungkinkan SBM ITB untuk beroperasi melayani mahasiswa sesuai  standar internasional yang selama ini diterapkan. 

Hal ini, kata dia, merupakan dampak konflik berkepanjangan setelah Rektor ITB Reini Wirahadikusumah mencabut hak swakelola SBM ITB tahun 2003, tanpa pemberitahuan dan kesepakatan pihak-pihak yang berkepentingan. 

Pada 2 Maret 2022, kata dia, jajaran dekanat SBM ITB yang dipimpin oleh Dekan SBM ITB Utomo Sarjono Putro, Wakil Dekan Bidang Akademik Aurik Gustomo, dan Wakil Dekan Bidang Sumber Daya Reza A Nasution sudah mengajukan surat pengunduran diri kepada rektor. 

Berbagai upaya, kata dia, telah dilakukan untuk menyelesaikan konflik terkait pencabutan hak swakelola SBM ITB, termasuk pertemuan Forum Dosen SBM ITB dengan Rektor beserta Wakil-Wakil Rektor pada tanggal 4 Maret 2022, tetapi masih belum membuahkan hasil. 

Sementara Perwakilan FD SBM ITB, Jann Hidajat menyatakan, bahwa standar kualitas pelayanan terbaik di SBM ITB tidak lagi dapat dipertahankan. Walaupun, kata dia, hasil upaya swadana yang dilaksanakan oleh SBM ITB cukup untuk mendanai kualitas pelayanan terbaik. 

"Artinya, pencabutan asas swakelola ini adalah bentuk ketidakadilan, terutama bagi mahasiswa dan orang tua mahasiswa yang telah membayar untuk mendapat standar pelayanan kelas dunia, tapi tidak terlaksana karena dicabutnya azas swakelola," ujar dia. 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler