Kisah Dosen Indonesia Karantina Covid-19 di AS (Bag 2) Nasib tak Jelas di Bandara JFK

Setelah tidak diperbolehkan terbang ke Jakarta karena Ayah dinyatakan Covid-19, menunggu berjam-jam dalam ketidakpastian di Bandara JFK New York.

network /Kampus Republika
.
Rep: Kampus Republika Red: Partner
Aku bersama Ayah saat berada di negara bagian Alabama, Amerika Serikat. Perjalanan yang semula menyenangkan menjadi kekalutan ketika Ayah dinyatakan positif Covid-19 di New Nork. Foto : Dok. Maya

"Anda silakan terbang, segera hubungi maskapai Anda,” kata petugas.


Terbang sendirian ? Enak saja. Meninggalkan ayahku yang sudah berumur 78 tahun, dengan fisik yang sakit, dan kurang pendengaran sendirian di New York ? Belum lagi, New York sedang musim dingin. Salju mulai turun. Suhu di luar di bawah nol derajat Celcius.

Tidak mungkin aku terbang, meninggalkan ayah sendirian di tengah dinginnya New York.

"Saya tidak mungkin terbang pulang. Bagaimana dengan ayah? " ujarku pada petugas itu.

"Ayah anda akan aman dikarantina dan Anda silakan terbang, " jelasnya.

"Oh no. Ayah saya sudah 78 tahun, dan pendengarannya kurang baik, tidak mungkin saya tinggalkan," timpalku sambil melirik ayah yang sepertinya kebingungan karena tidak tahu pasti apa yang terjadi.

Baca kisah sebelumnya :

Dosen Indonesia Karantina Covid-19 di AS (Bag 1) Mau ke Jakarta Terdampar di New York

Petugas tersebut kemudian menanyakan apakah kami punya saudara atau keluarga di New York. Aku pun menjelaskan bahwa kami tidak punya sanak saudara di New York.

Tiba-tiba panggilan masuk ke HP-ku. Aku mohon izin kepada petugas untuk menerima telepon.

Dari balik telpon terdengar suara kakak kebingungan. Dia menanyakan hasil PCR ku dan bagaimana kondisi ayah saat ini. Aku sampaikan bahwa hasil PCR ku negatif, dan aku diminta menghubungi Emirates tentang statusku sementara ayah diminta karatina sendiri di New York. Terdengar suara emosi kakak yang mengkhawatirkan ayah bila harus ditinggal.

"Ya udah Akang telponin Emirates sekalian tolong urusin asuransi Covid nya. Dan bilang penerbangan kita ditunda," usulku pada kakak. Karena untuk urusan telepon aku tidak mengaktifkan nomor Amerika ku. Hanya mengaktifkan kuota internet selama disana. Segera telpon kututup.

Baru telepon kututup masuk lagi panggilan dari suami yang menanyakan bagaimana hasil PCR ku dan menanyakan keadaan Ayah. "Negatif Mas, tapi Bapak wajib karantina. Belum tahu harus gimana-gimananya lagi. Barusan minta Akang batalkan dulu penerbangan malam ini, "jelasku pada suami. "Udah dulu ya, nanti dikabari lagi. Ini masih sama petugas klinik, " tambahku.

Petugas tadi masih menunggu, aku pun menjelaskan bahwa barusan kakak telepon dan akan menghubungi maskapai melalui nomor telepon Amerika untuk membatalkan keberangkatan kami sekaligus mengurus asuransi Covid. Tiba-tiba petugas tersebut bertanya "Kakak Anda tinggal dimana? Di Amerika?"

"Ya, di Fort Myers, Florida," jawabku. "Apakah ayah Anda ada symptom seperti batuk atau sesak?" tanyanya lagi. "Oh tidak, ayah saya tidak ada tanda-tanda itu. Tidak ada gejala covid, " tegasku.

"Bawa saja kembali ayah Anda ke Florida, karantina bisa disana. Untuk terbang ke Florida tidak perlu hasil PCR, " jelasnya coba memberi solusi.

Aku merasakan ada kekuatan ketika mendengar diperbolehkan terbang ke Florida, meski salah satu di antara kami positif Covid. "Baik lah, saya akan telepon kakak dan menyampaikan untuk kembali kesana. Terimakasih Mam, " ujarku.

Petugas pun meninggalkan kami. Segera aku membuka handphone untuk menelpon. Ayah yang dari tadi mendengarkan seperti kebingungan dan akhirnya bertanya , "Jadi Bapak kumaha (bagaimana)? Ari (Kalau) hasil PCR Neng naon (apa) ?" tanya ayah padaku.

"Bapak wajib karantina disini, hasil PCR Neng negatif. Tapi ini lagi diusahakan biar bisa karantina di Florida. Ini mau telepon Kang Iman dulu," jelasku sambil membuka HP tanpa berani menatap ayah.

Sudah dipastikan wajah ayah akan semakin sedih mendengar wajib karantina. "Karantina berapa lama? Bapak karantina sendiri gitu? Kan bapak ga bisa dengar, terima telepon aja sekarang susah, ga kedengaran. Kalau Neng nanti dimana?" ayah segera memberondong dengan pertanyaan. Aku pun menjelaskan, agar ayah jangan khawatir karena sekarang sedang mencari solusi yang terbaik untuknya.

Aku mencoba mencari tiket untuk kembali ke Fort Myers secara online. Sambil mencari penerbangan plus harga tiketnya aku melirik ke arah ayah. Beliau tertunduk sambil memejamkan mata dan tak hentinya beristighfar dan berdzikir. Rasa ini bercampur aduk melihat ayah yang sepertinya mencoba kuat di tengah musibah ini.

Aku lirik jam tangan, waktu sudah menunjukkan pukul 11. 50 siang. Aku kembali buka WA ternyata ada notif WA dari suami yang menanyakan akan karantina dimana. Beberapa pesan darinya berisi support agar aku kuat dan sabar. Jangan sampai aku sakit. Aku coba menjelaskan bahwa sedang diusahakan agar bisa kembali ke Florida.

Tiba-tiba ada telepon masuk dari kakak yang menyampaikan untuk urusan pembatalan terbang sudah beres. Tak lupa aku diingatkan untuk mengurus bagasi karena tidak jadi terbang.

Kakak juga bercerita tadi ada sedikit kendala ketika telepon dengan pihak asuransi dari Emirates yang ternyata pusatnya di London. Kakak telepon langsung ke London karena perbedaan waktu dengan London menjadi masalah awal, selain itu yang akan dicover untuk karantina hanya ayahku saja mengingat hasil PCR ku negatif.

Aku pun segera menyampaikan saran dari petugas klinik agar karantina dilakukan di Florida saja. Aku sampaikan juga bahwa beberapa penerbangan ke Fort Myers sudah kucari. Kakak pun setuju. "Bagus lah atuh pulang kesini aja. Kita cari tiket sekarang, tenangin bapak saja. Oh ya kan belum makan dari tadi. Cari makan dulu," ujarnya.

"Ok siip. Nyari makan dulu aja deh. Sekalian nyari tempat ngecas HP, ini baterai tinggal berapa persen, " kataku yang melihat daya batere HP terus menurun.

Suasana Bandara Regional South West (RSW) Florida sebelum berangkat ke New York. Foto : Dok Maya

Kusampaikan pada ayah, agar jangan khawatir karena kakak sedang mencoba mencarikan tiket agar kami bisa kembali ke Florida. Paling tidak isolasi mandiri pun bisa dilakukan karena ayah tidak bergejala. Lebih baik sekarang kami mencari makan dulu. Sambil aku mencari tempat untuk mengecas HP. Ayah pun setuju.

Kami pun beranjak dari tempat duduk. Baru beberapa langkah kami meninggalkan klinik, tiba-tiba ada telepon dari kakakku. "Neng, sepertinya agak repot kalau terbang kembali ke Fort Myers. Penerbangan domestik hanya diperbolehkan satu luggage, beratnya pun terbatas. Bisa aja bawa semua tapi biaya seharga satu orang. Kalau kemarin bisa karena masuknya sebagai penerbangan internasional. Jetblue kan partneran sama Emirates. Ini lagi coba tanya-tanya juga kalau pakai kereta memungkinkan ga," jelas kakak dengan nada yang berat.

Terdengar jelas sepertinya kakak pun tambah mengkhawatirkan kami. Aku pun terdiam. Pikiranku kemana-mana.

Memang tas kami jadi ’beranak’ . Yang awalnya hanya membawa dua tas kabin dan dua luggage kini menjadi empat luggage besar dengan masing-masing berat 23 kg sesuai dengan yang diijinkan Emirates. Dari banyaknya tas yang kami bawa, tiga perempatnya adalah barang-barang titipan teman dan saudara. Kalau sampai tidak terbawa bagaimana?

Ini baru urusan tas. Kemudian kalau naik kereta berapa hari kira-kira sampainya. Mengingat jarak New York – Fort Myers seperti jarak Jakarta-Banda Aceh. Karena sugesti aku merasa tubuh ini panas dingin. Tetap kucoba kuat dan tetap melanjutkan langkah untuk mencari tempat makan.

"Apa kata Kang Iman?" tanya ayah ingin tahu. "Ga bisa pakai pesawat lagi ke Floridanya Pak. Akang lagi coba pakai kereta, " jelasku. Ayah kembali diam.

Akhirnya aku menemukan meja panjang untuk mengecas HP. Aku bilang ke ayah akan mencas HP dulu beberapa menit untuk menambah daya. Dan Ayah kuminta duduk depan counter donut. Ayah pun menurut.

Segera aku mendekati meja panjang yang berisi enam port dua di antaranya USB port. Dan ternyata sudah penuh diisi beberapa orang yang sama sedang mengecas juga. Ya aku hanya bisa mengecas menggunakan USB port, karena aku tidak punya kepala charger yang bisa tersambung langsung dengan port tipe Amerika.

Aku yang biasanya traveling membawa adaptor international kali ini lupa. Selama di Florida aman karena ada punya kakak. Namun disini mulai kebingungan. Aku jadi celingukan dan hanya bisa melihat orang lain yang sedang mengecas.

Di tengah kebingungan ada yang berbaik hati. Rupanya dia memperhatikan aku yang sibuk melihat kesana kemari sambil memegang kabel data. "Mau pakai punyaku? " tawar pria yang berdiri berseberangan denganku terhalang meja charger. Langsung aku menggangguk. "Thank you very much, " ujarku kegirangan. Segera kuraih charger lengkap miliknya dan kusambungkan ke HP ku.

Baru sekitar lima menit aku mengecas, tiba-tiba pria berbadan tegap tersebut berbicara padaku dan mengatakan harus segera meninggalkan tempat itu karena yang menjemputnya sudah tiba. Lantai 1 pada terminal 4 ini merupakan terminal kedatangan jadi para penumpang dijemput di lantai ini. Aku pun segera mencabut charger dan mengembalikannya. Tak lupa kuucapkan terima kasih padanya.

Aku segera menghampiri ayah. Hari semakin siang, udara di lantai 1 pun terasa dingin. Waktu sudah menunjukkan pukul 11.58. Kulirik WA, belum ada pesan dari kakak. Namun ada pesan dari suami yang menanyakan apakah sudah mendapat tempat makan. Segera kujawab, kami belum makan karena tadi sudah menanyakan ke petugas bahwa di terminal 4 tidak ada restaurant atau cafe yang menyediakan makanan berat. Hanya ada cafe donut saja.

Restoran hanya ada di ruang tunggu penumpang yang akan boarding. Bila mau cari restaurant kami harus keluar bandara. Duh tidak mungkin keluar bandara. Wong nasib kami saja belum jelas.

Kusampaikan juga kepada suami bahwa kami tidak bisa pulang ke Florida dengan pesawat karena persoalan tas yang kami bawa.

"Udah ga usah pikirin tas. Yang penting Neng dan Bapak aman dan sehat. Kalau memang perlu ditinggal ya tinggal aja. Bawa yang penting-penting aja. Oleh-oleh dan barang-barang titipan gimana nanti. Kalau perlu uangnya Mas ganti, " kata suamiku.

Duh ucapan suamiku membuat semangat baru. Tahu aja yang aku pikirkan, salah satunya kekhawatiran harus mengganti uang yang sudah aku keluarkan untuk membelikan berbagai titipan. Akupun menjadi tersenyum-senyum sendiri.

"Iya Mas, ya udah sekarang mau beli donut aja. Biar bapak ga kosong banget perutnya. Ini sekalian mau beli charger HP, baterenya tinggal dikit," timpalku.

Segera aku menuju ke antrean untuk membeli donut. Aku pun membeli donut coklat dan strawberry. Ditambah satu gelas teh panas.

Segera kuhampiri Ayah, kukatakan harus mau makan donut plus teh ini. Karena belum tahu akan menemukan restaurant kapan. Akhirnya Ayah pun mau memakan donut. Sebenarnya ayah bukan tidak suka donut, namun 4 tahun belakangan ini ayah disiplin soal makanan yang manis, mengingat ayah punya diabetes.

Sambil makan aku mengatakan agar ayah menunggu lagi disini, karena aku akan mencari charger. Kebetulan aku lihat ada mini market Hudson tadi. Ayah ku pun mengangguk.

Setelah kuhabiskan donut segera aku menuju Hudson dan menanyakan pada penjaga apakah ada charger dengan model type C sesuai dengan model HP ku.

Petugas agak bingung juga karena model HP ku tidak masuk ke Amerika. Ay ay ay Padahal HP buatan Cina ini tenar sekali di Indonesia.

Segera petugas menunjukkan beberapa model charger. Hanya ada tiga pilihan model. Dan harganyapu fantastis bagiku. 54 dolar AS, atau sekitar Rp 756 ribu. Padahal di Indonesia charger seperti itu harganya Rp 100-200 ribu saja. Tapi ya aku harus beli itu charger mengingat daya tahan baterai akan terus menurun.

Dari toko aku tidak langsung menemui ayah tapi kembali ke meja charger. Segera ku isi baterai HP. Sambil kembali kubuka HP namun belum juga ada pesan masuk dari Kakak, padahal waktu sudah menunjukkan pukul 12.58 waktu New York. Aku pun tidak berani menghubungi suami mengingat di Indonesia sudah tengah malam menjelang dini hari.

Aku coba saja mencari jadwal kereta yang menuju Fort Myers. Wow ternyata tidak ada yang langsung ke Fort Myers Paling dekat sampai ke Orlando yang jarak tempuhnya sekitar 2,5 jam dari Fort Myers.

Total perjalanan yang akan ditempuh dengan kereta adalah 1 hari, 7 jam, dan 30 menit. Belum lagi biayanya per orang hampir 300 dolar AS atau sekitar Rp 4,2 juta.

Duh kepalaku bertambah pusing. (bersambung)

Baca juga :

Pendaftaran Beasiswa LPDP Segera Dibuka, Ini Jadwal Lengkapnya

Mau Berburu Beasiswa Tahun 2022 ? Ini Linknya

Kisah Komunikasi Antarbudaya Pada Perkawinan Campur di Amerika

Ikuti informasi penting dan menarik dari kampus.republika.co.id. Anda juga dapat berpartisipasi mengisi konten, kirimkan tulisan, foto, info grafis, dan video melalui e-mail : kampus.republika@gmail.com

sumber : https://kampus.republika.co.id/posts/75295/kisah-dosen-indonesia-karantina-covid-19-di-as-bag-2-nasib-tak-jelas-di-bandara-jfk
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler