Saham Boeing Anjlok Setelah Pesawat China Eastern Airlines Jatuh
Saham perusahaan pemasok komponen Boeing juga terdampak jatuhnya pesawat di China.
REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Saham pembuat pesawat AS Boeing Co dan pemasoknya jatuh pada Senin (21/2/2022) setelah pesawat 737-800 China Eastern Airlines, dengan 132 orang di dalamnya, jatuh di pegunungan China selatan. Pesawat itu jatuh setelah tiba-tiba turun dari ketinggian jelajah.
Media melaporkan bahwa petugas penyelamat tidak menemukan tanda-tanda selamat. Penyebab kecelakaan itu belum diketahui. Boeing mengatakan sedang bekerja untuk mengumpulkan lebih banyak informasi.
FlightRadar 24 mengatakan jet yang terlibat dalam kecelakaan itu berusia enam tahun. Setelah kecelakaan itu, media pemerintah China mengatakan maskapai itu telah mengandangkan armada 737-800, yang menurut situs pelacakan penerbangan memiliki 109 pesawat tipe tersebut.
Varian 737-800 adalah pendahulu Boeing 737 MAX, yang menunggu persetujuan peraturan di China, pasar penerbangan domestik terbesar di dunia. 737-800 memiliki kapasitas tempat duduk maksimum 189 dan dilengkapi dengan mesin CFM-56, menurut situs web Boeing.
Tidak ada penjelasan resmi apakah pesawat yang terlibat dalam kecelakaan itu memiliki mesin yang sama dengan maskapai penerbangan yang bebas memilih mesin dari pemasok lain.
Mesin CFM dibuat oleh perusahaan patungan antara General Electric Co dan Safran SA Prancis. Saham GE turun sekitar 1 persen, sementara Safran yang terdaftar di Prancis turun 3 persen.
Saham Boeing turun 4,5 persen pada awal perdagangan, sementara ADR maskapai China yang terdaftar di AS turun sekitar 9 persen. Sedangkan pemasok suku cadang Spirit AeroSystems Holdings Inc, Hexcel Corp dan Triumph Group Inc turun antara 1 persen dan 4 persen.
Analis CFRA Research Colin Scarola mengatakan kecelakaan itu seharusnya tidak secara teknis berdampak pada sertifikasi ulang MAX di China di mana ia telah dilarang terbang selama tiga tahun setelah dua kecelakaan fatal di Indonesia dan Ethiopia.
Tapi dia tidak mengesampingkan negara yang menggunakan kecelakaan itu sebagai alasan untuk menunda persetujuan. "China kemungkinan tidak akan mengakui ini yang mereka lakukan. Tapi kami yakin itu bisa terjadi," kata Scarola.