Menjaga Kewarasan, Di Tengah Derasnya Penyakit Mental

Menjaga Kewarasan, Ditengah Derasnya Penyakit Mental

Kesehatan mental
Rep: Putri Hanifah, CHt., C.NNLP Red: Retizen

Tema kesehatan mental belakangan ini menjadi topik yang banyak diminati oleh generasi millennial akhir sampai generasi zilenial. Dua tahun kuliah daring memberikan pelajaran besar bahwa mendeteksi kesehatan diri itu penting. Bukan hanya kesehatan fisik, melainkan juga kesehatan mental perlu mendapatkan porsi yang sama dalam pendeteksiannya. Sebab penyakit mental tidak bisa dilihat dengan mata telanjang seperti penyakit fisik, tapi keberadaannya bisa terasa.


Keberadaan penyakit mental hari ini semakin terlihat menjangkiti pemuda dan pemudi ketika terjadi pandemi. Sebelum pandemi covid-19 penyakit mental mungkin masih bisa terselamatkan serta tertutupi oleh riuh dan tawa dibalik nongki-nongki. Setelah pandemi terjadi tabir penyakit mental terbuka lebar-lebar, terlebih bagi mahasiswa yang sudah memiliki hidden illness menjadi nampak gejalanya. Efek penyakit mental ini bisa merusak produktivitas mahasiswa, bahkan berefek pada seluruh lini kehidupan. Baik itu lingkungan keluarga, kuliah dan lingkungan sekitar.

Menyandang gelar mahasiswa memang berat pertanggungjawabannya, gelar maha menandakan strata tertinggi dari tingkatan siswa, ini berarti menandakan usia mahasiswa merupakan awal usia dewasa. Menyandang gelar mahasiswa berarti lekat dengan amanah agent of change, iron stock dan social control. Namun perlu dipahami meski mahasiswa menyandang amanah besar tapi jika kesehatan mentalnya terganggu maka akan akan mengganggu kehidupannya bahkan destroy their lives.

Dalam rentang dua tahun kuliah online setidaknya kita semua menyaksikan bagaimana mahasiswa mengalami roller coaster kehidupan kampus dengan tatanan baru. Tak jarang mahasiswa dipusingkan dengan tugas kuliah yang menumpuk karena manajemen waktu yang masih berantakan, burnout karena mengemban amanah yang berlapis-lapis dari amanah kuliah, amanah di organisasi, belum lagi juga harus membantu orang tua dirumah, perubahan jam tidur yang menyebabkan low mood dan sebagainya.

Agar mahasiswa Indonesia mengetahui apa itu mental illness, kita harus mengetahui terlebih dahulu apa yang disebut dengan kesehatan mental? World Health Organitation sendiri mendefinisikan kesehatan mental adalah kondisi dimana seseorang Individu dapat berkembang secara fisik, mental, spiritual dan sosial. Sehingga individu tersebut menyadari kemampuan sendiri, dapat mengatasi tekanan, dapat bekerja secara produktif dan mampu memberikan kontribusi untuk komunitasnya. Sehingga, kesehatan mental ini sebenarnya akan memengaruhi cara seseorang berfikir, merasakan dan bertindak, bagaimana cara mengatasi stress dan bagaimana mengambil keputusan.

Fenomena mental illness sendiri bukan sesuatu yang baru, tahun 2018 riset kesehatan dasar menyatakan bahwa penyebab kecacatan terbesar hidup dengan disabilitas (years lived disability atau YLJ) adalah gangguan mental. Hingga Juni 2020 angka kasus gangguan jiwa di Indonesia sudah mencapai 227 ribu jiwa. Sedang di tahun 2019 ada 197 ribu jiwa. Angka prevalensi di Indonesia sendiri 6,2 persen. Hal ini menandakan diantara 100 remaja, akan ada 6 orang atau lebih yang menderita penyakit mental.

Setidaknya terdapat tiga faktor yang menyebabkan munculnya mental illness. Pertama faktor individu yang bisa dibagi menjadi tiga aspek: biologis, psikis dan spiritual. Kondisi biologis merupakan kondisi kesehatan individu yang kurang optimum sehingga menyebabkan seseorang terkena gangguan mental. Dari penyakit genetik misalnya seperti kanker, sakit pinggang, vitiligo (pergantian kulit). Selanjutnya kondisi psikis adalah kondisi emosi individu, kemampuan seseorang mengatasi situasi, memanajemen stress, belief system mahasiswa yang dipenuhi trauma di masa kecil, tumbuh kembang yang tidak optimum, dukungan orang sekitar yang kurang. Kemudian dari aspek spiritual berkaitan dengan bagaimana kedekatannya dengan Tuhannya, supaya bisa memaknai kesulitan dan ujian yang datang.

Faktor kedua dan ketiga adalah dari aspek tatanan masyarakat serta keberadaan negara, yang merupakan faktor terbesar yang berpengaruh terhadap kondisi kesehatan mental mahasiswa. Tatanan masyarakat modern yang individualis, menyebabkan support system bagi mahasiswa tidak ada sehingga banyak yang merasakan kesepian, sendirian, tidak memiliki teman. Ditambah lagi promosi besar-besaran untuk mengejar kepuasan pribadi, kebebasan dalam segala hal, untung rugi yang selalu dinilai dengan materi menyebabkan mahasiswa menghargai apapun dengan angka.

Oleh karena itu untuk memberikan solusi terhadap permasalahan penyakit mental ini, kita harus mengetahui apa yang menjadi sumber masalah, ternyata ada tiga faktor yakni faktor individu, masyarakat dan negara. Ketiga faktor ini harus dikelola dengan landasan yang benar. Sebab jika landasannya masih seputar angka dan pencapaian pribadi, sampai kapanpun tidak akan tercipta pemaknaan kehidupan sejati.

Kuncinya “What you think affect what you feel and how to behave” langkah pertama ubah cara berpikirnya, dalam proses berpikir membutuhkan empat komponen, yakni fakta, indera, otak dan informasi sebelumnya. Mahasiswa bisa memupuk dan mengupgrade terus jenis informasi yang dimasukkan kedalam otak. Jika selepas kuliah hanya kulakan drama Korea saja, maka cara berpikir pemuda tersebut, impiannya serta aspirasinya hanya seputar itu saja. Tapi seandaninya hal yang dibaca adalah tentang bagaimana perjuangan pahlawan Indonesia memerdekakan negeri ini, kisah heroik para sahabat Rasul dalam menuntut ilmu maka outputnya akan jelas berbeda. Pemuda akan mendapatkan suntikan semangat dua kali lipat, karena kuliah hari ini ternyata tidak sepelik perjuangan menuntut ilmu ulama-ulama zaman dahulu kala. Selanjutnya pahami dasar-dasar aqidah seperti topik qadha dan qadar agar pemuda hari ini tidak disibukkan untuk memikirkan area yang tidak dikuasai (seperti bentuk fisik, rezeki yang diberikan kepadanya dll) melainkan fokus pada area yang dikuasai oleh pemuda (bagaimana umurnya digunakan, bagaimana menyelesaikan permasalahan yang datang, bagaimana mengelola fisik yang sudah dianugerahkan Allah dan lain-lain). Kemudian jangan lupa milikilah guru kehidupan yang akan membantu pengobatan serta membangun kehidupan empat tahun dikampus akan menjadi apa.

Tidak cukup sampai disitu masyarakat juga harus memiliki sense of belonging yang tinggi satu sama lain, ketika ada yang sakit ditolong, ketika ada yang melakukan penyimpangan diingatkan, ketika ada yang melakukan kebaikan didukung, akhirnya tercipta sebuah tatanan sistem yang harmonis. Ditambah lagi peran negara yang mensupport penuh pendidikan sehingga lahirlah intelektual kampus yang kontributif bagi nusa, bangsa dan negara. Negara itulah tidak lain dan tidak bukan negara Islam, Khilafah Islamiyah

sumber : https://retizen.id/posts/91245/menjaga-kewarasan-di-tengah-derasnya-penyakit-mental
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke retizen@rol.republika.co.id.
Berita Terpopuler