Polisi Masih Koordinasi dengan FBI Pulangkan Pendeta Saifuddin Ibrahim dari AS

Mabes Polri telah menetapkan Saifuddin Ibrahim sebagai tersangka penistaan agama.

Tangkapan layar
Pendeta Saifuddin Ibrahim meminta 300 ayat Alquran dihapus.
Rep: Bambang Noroyono Red: Teguh Firmansyah

REPUBLIKA.CO.ID JAKARTA -- Mabes Polri belum berhasil menangkap ataupun membawa pulang tersangka penista agama Saifuddin Ibrahim dari Amerika Serikat (AS) untuk diperiksa. Kadiv Humas Polri Inspektur Jenderal (Irjen) Dedi Prasetyo mengatakan, tim penyidik Direktorat Tindak Pidana (Dirtipid) Siber masih berkordinasi dengan divisi interpol Polri, dan kepolisian federal di AS (FBI) untuk dapat memulangkan tersangka pendeta asal Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB), tersebut.

Baca Juga


Dedi mengatakan, selain itu, tim di interpol Polri juga melakukan yang sama dengan kepolisian internasional untuk penerbitan red notice, dan status daftar pencarian orang (DPO). “Penyidik Dir Siber Polri, masih berkordinasi dengan Div Hubinter, dan FBI. Informasinya yang bersangkutan, SI ada di AS,” kata Dedi kepada Republika.co.id, Senin (4/3).

Dedi meyakinkan, agar masyarakat memercayakan kepada Polri dalam penanganan kasus penistaan agama dan ujaran kebencian yang dilakukan oleh Saifuddin Ibrahim itu. “Kita, dan saya juga masih menunggu untuk kelanjutan prosesnya,” ujar Dedi menambahkan.

Dir Siber Bareskrim Mabes Polri, sudah menetapkan Saifuddin Ibrahim sebagai tersangka penistaan agama, dan ujaran kebencian, Senin (28/3) lalu. Karo Penmas Humas Mabes Polri Brigadir Jenderal (Brigjen) Ahmad Ramadhan mengatakan, penyidik menjeratnya sebagai tersangka Pasal 45 ayat (2) juncto Pasal 28 ayat (2) UU 19/2016 tentang ITE. Dan Pasal 156 KUH Pidana, atau Pasal 156 a KUH Pidana, dan Pasal 14 ayat (1) ayat (2), serta Pasal 15 UU 1/1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. “Ancamannya enam tahun penjara,” begitu kata Ramadhan, pekan lalu.

Penistaan agama yang dilakukan Pendeta Saifudin Ibrahim ini terjadi pekan lalu, ketika ia menyampaikan terbuka, agar Kementerian Agama (Kemenag) menghapus 300 ayat suci dalam Alquran. Menurut pendeta asal Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB) itu, 300 ayat dalam kitab suci agama Islam itu, adalah menjadi penyebab suburnya paham radikalisme dan terorisme di Indonesia. Saifudin Ibrahim juga mengatakan, pondok pesantren, dan madrasah yang ada di Indonesia merupakan lembaga pendidikan pencetak terorisme dan radikalisme.

Pernyataan permintaan tersebut, dilayangkan Pendeta Saifudin Ibrahim via kanal media sosial (medsos) Youtube. Atas pernyataan tersebut, kalangan masyarakat mengecamnya. Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyatakan si pendeta yang dulunya dikabarkan bergama Islam tersebut layak untuk dipolisikan.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler