Prof KH Ibrahim Hosen, Sang Fakih Legendaris (II)
IHRAM.CO.ID, JAKARTA -- Dalam perjalanan hidupnya, Prof KH Ibrahim Hosen pernah memimpin Komisi Fatwa MUI selama dua dasawarsa, yakni tahun 1981-2000. Dalam berfatwa, ia selalu berpegang teguh pada dasar keilmuan. Di samping itu, dirinya pun memiliki kepekaan terhadap situasi kontekstual sehingga menyajikan alternatif-alternatif. Terobosan pemikirannya kadang kala menuai polemik.
Kiai Ibrahim Hosen pernah berpesan, Ke benaran ilmiah harus ditegakkan. Demikian menurut seorang putranya, Prof Nadirsyah Hosen. Cendekiawan yang akrab disapa Gus Nadir itu menceritakan, kalimat tersebut menunjukkan keteguhan hati ayahnya. Walaupun diterpa cemooh dari orang- orang yang tidak suka pada pemikirannya, sang kiai tetap tidak gentar.
Rais syuriah Pengurus Cabang Istimewa (PCI) Nahdlatul Ulama Australia dan Selandia Baru itu mengingat, ayahnya sering berpesan tentang karakteristik fikih. Menurutnya, karakter fikih adalah dinamis dan fleksibel serta menawarkan banyak pilihan dalam mewujudkan tujuan dasarnya, maqashid asy-syari'ah.
"Pendapat atau fatwa beliau (Kiai Ibrahim) yang kemudian dianggap melawan arus itu sesungguhnya justru memberi pencerahan baru bagi setiap yang mempelajari fatwa-fatwanya,"jelas Gus Nadir.
Sebagai contoh, sebuah fatwa sang kiai yang dianggap kontroversial adalah pembolehan Keluarga Berencana (KB) pada 1967. Padahal, arus keinginan publik saat itu lebih condong pada pengharamannya. Selain itu, Kiai Ibrahim juga menjadi ulama pertama di Tanah Air yang memperbolehkan wanita menjadi seorang hakim.