Lima Catatan Kritis Waka Banggar DPR Terkait UU Keuangan Pusat dan Daerah

Pemda cenderung mengalami penyerapan tinggi pada semester akhir tahun berjalan.

Istimewa
Wakil Ketua Banggar DPR Ibas bersama Ketua Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (Apeksi) Bima Arya Sugiarto.
Red: Erik Purnama Putra

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Undang-Undang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD) memiliki pengaruh besar bagi peningkatan kinerja fiskal pemerintah daerah. Wakil Ketua Badan Anggaran (Waka Banggar) DPR Edhie Baskoro Yudhoyono mengikuti rapat yang membahas tentang dampak pemberlakuan UU HKPD terhadap peningkatan kualitas belanja daerah dan optimalisasi pendapatan daerah.

"Terima kasih atas presentasi dan aspirasinya atau lebih tepatnya unek-unek ya. Mungkin tidak bisa menang-menangan ataupun kalah-kalahan. Mesti win-win solution," kata Ibas usai mendengar pemaparan dari Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) dan Ketua Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (Apeksi) di Gedung DPR/MPR, Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (6/4/22).

Menurut Ibas, sama seperti pembangunan yang ada di pusat, daerah pun menginginkan hal yang sama. Dia pun menyampaikan lima pandangannya terkait UU HKPD. Pertama, terkait pengaruh pada fiskal pemerintah daerah (pemda).


"Saya berharap UU HKPD ini berpengaruh besar dalam meningkatkan kinerja fiskal pemda. Sehingga kita sebetulnya juga ingin mengetahui seberapa besar selisih presentasi penerimaan nyata skema TKDD dibandingkan dengan skema UU HKPD misalkan," ucap ketua Fraksi Demokrat DPR tersebut.

Kedua, tentang option gain perpajakan yang akan diterima pemda. Ibas menyebut, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menyatakan, kinerja keuangan daerah masih lemah, apalagi ketika dihantam pandemi berkelanjutan. "Itu terlihat dari rerata PAD (pendapatan asli daerah) yang hanya berkisar 24,7 persen saja, seperti yang telah dipresentasikan. Jadi, dengan adanya UU ini bisa tidak pemda mendapatkan option gain perpajakan?"

Ketiga, mengenai pola belanja pemda. Selama ini, kata dia, pemda cenderung mengalami penyerapan tinggi pada semester akhir tahun berjalan atau bahkan tidak digunakan. "Nah, dengan adanya UU HKPD ini apakah bisa mengakselerasi penyerapan pemda sepanjang tahun selain hanya belanja rutin yang dinilai belum mencukupi?" ucap Ibas.

Keempat, bagaimana pemerintah daerah melalui UU ini dapat mendorong peningkatan penerimaan perpajakan pada 2022 demi mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia. Hal itu mengingat, pada 2023, APBN kembali menerapkan rezim defisit tiga persen dari produk domestik bruto (PDB).

"Langkah apa yang diambil Pemda untuk mengantisipasi risiko keluarnya pengusaha besar akibat skema pajak baru berdasarkan UU HKPD? Ingat! Pajak pengusaha penting, jangan sampai justru skema pajak baru berisiko untuk 'mendorong' pengusaha pindah ke daerah atau bahkan negara lain dengan skema pajak yang lebih sesuai dan menguntungkan untuk mereka," kata Ibas.

Kelima, seberapa besar dampak kondisi pasar komoditas dunia terhadap kinerja penerimaan pemda pada tahun ini, terutama untuk daerah kaya penghasil sumber daya alam (SDA) yang merupakan komoditas andalan ekspor. "Apa saja langkah yang telah disiapkan oleh pemda untuk memanfaatkan dan menstabilkan pendapatan perpajakan di tahun ini?" ucap Ibas.

Pada akhir pemaparannya, Ibas mengajak semua pihak untuk tunduk pada aturan yang berlaku termasuk UU. Oleh karena itu harus ada jalan tengah antara pemerintah pusat dan pemda. Kepentingan beragam itu harus menuju tujuan besar Merah Putih yang sama. "Semoga ada solusi terbaik. Sebagaimana catatan kritis kami selama ini," kata Ibas.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler