Pemberontak Thailand Bertanggung Jawab Atas Pengeboman di Bulan Ramadhan
Pengeboman itu melanggar perjanjian gencatan senjata selama Ramadhan
REPUBLIKA.CO.ID, BANGKOK -- Pemberontak Thailand yang tak dilibatkan dalam pembicaraan damai, pada Sabtu (16/4/2022) mengaku bertanggung jawab atas pengeboman mematikan di wilayah pedalaman selatan yang berpenduduk mayoritas Muslim negara itu. Pengeboman itu melanggar perjanjian yang disepakati, menyangkut gencatan senjata selama Ramadhan, antara kelompok pemberontak utama dan pemerintah.
Dua ledakan pada Jumat (15/4), yang menewaskan seorang warga sipil dan melukai tiga polisi, dilakukan oleh "G5", sebuah kelompok militan Organisasi Pembebasan Serikat Patani (PULO), kata ketuanya Kasturi Mahkota, kepada Reuters.
Sudah lebih dari 7.300 orang tewas sejak 2004 dalam pertempuran antara pemerintah dan kelompok-kelompok bayangan yang mencari kemerdekaan untuk provinsi-provinsi Melayu-Muslim Narathiwat, Yala, Pattani dan sebagian Songkhla.
Kawasan itu merupakan bagian dari kesultanan Patani yang dicaplok Thailand dalam perjanjian 1909 dengan Inggris. Kasturi mengatakan melalui telepon bahwa ledakan di Provinsi Pattani merupakan "hal biasa" bagi PULO, yang tak terlibat dalam pembicaraan antara pemerintah dan Barisan Revolusi Nasional (BRN).
BRN dua minggu lalu sepakat untuk menghentikan kekerasan selama bulan suci Ramadhan hingga 14 Mei. Seorang juru bicara pasukan keamanan Thailand di selatan, Kolonel Kiatisak Neewong, mengatakan tanpa menyebut nama PULO bahwa sebuah kelompok yang tidak termasuk dalam pembicaraan damai kemungkinan bertanggung jawab atas pengeboman yang bertujuan mengganggu gencatan senjata Ramadhan.
Tim perunding Thailand pada pembicaraan damai dan BRN menolak berkomentar.
"Pembicaraan itu tidak cukup inklusif dan berlangsung terlalu cepat," kata Kasturi.
Kelompok Kasturi menolak kesepakatan yang akan mengesampingkan kemungkinan kemerdekaan dari Thailand, negara yang mayoritas penduduknya beragama Buddha. Pembicaraan itu dilakukan untuk mencari solusi politik bagi konflik yang telah berlangsung selama beberapa dekade di bawah kerangka konstitusi Thailand. Pembicaraan itu sering terganggu sejak awal 2013. Putaran terbaru dimulai pada 2019.