Mengapa Istithaah Menjadi Syarat Haji?
IHRAM.CO.ID,JAKARTA--Allah sudah menegaskan bahwa melaksanakan perjalanan ke Baitullah untuk Ibadah haji hanya bagi yang mampu. Penegasan ini Allah SWT abadikan dalam surah Ali Imran ayat 97 yang artinya:
"Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah."
H Fakhrizal Idris, Lc dalam bukunya Haji dan Ibadah menyampaikan, Nabi SAW ketika menyebutkan rukun Islam yang lima bersabda, "Dan melaksanakan haji ke Baitullah bagi yang mampu mengadakan perjalanan tersebut." (HR. Muslim).
Apa yang dimaksud dengan Istitha’ah (kemampuan) dan sabil, dalam ayat dan hadits di atas? Katanya, ulama kita menjelaskan bahwamampu artinya memiliki kekuatan fisik, yaitu badan yang sehat dan memiliki harta.
Kemampuan harta di sini adalah ketika seseorang memiliki sarana untuk melakukan perjalanan ke tanah suci dan bekal untuk dirinya selama proses ibadah haji, serta bekal untuk keluarga yang ditinggalkan. Harta yang ditinggalkan itu ketika sudah memiliki keluarga yang menjadi tanggungannya yang ukuran berapa banyak harta yang ditinggalkan adalah ampai dia kembali.
"Sarana perjalanan pada zaman sekarang dapat berupa sarana darat (bus), laut (kapal laut) atau udara (pesawat terbang), dan kesemuanya tergantung kondisi dan kebutuhan seseorang," katanya.
Demikian pula sarana penginapan dan makanan, harus disesuai dengan kondisi dan kebutuhan seseorang. Segala puji bagi Allah yang Mahakaya lagi Mahamulia yang telah mewajibkan ibadah haji bagi hamba-ambaNya, dan ibadah ini hanya diwajibkan satu kali saja seumur hidup.
"Agar pengorbanan dalam menunaikan ibadah haji tidak sia-sia, maka harta yang dibelanjakan harus didapat dengan cara yang baik dan halal, karena Allah tidak menerima kecuali yang thayyib (baik)," katanya.
Sebagaimana sabda Rasulullah SAW: "Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Allah Mahabaik, dan Allah tidak menerima kecuali sesuatu yang baik." (HR. Muslim).
Yang dimaksud dengan harta halal di sini adalah harta yang diperoleh dengan usaha atau cara-cara yang halal, sedangkan harta yang haram adalah harta yang dihasilkan dari usaha atau cara-cara yang diharamkan dalam syariat, seperti mencuri, menipu, berdagang barang yang diharamkan syariat, transaksi berunsur riba, korupsi, dan sebagainya.
Orang yang melaksanakan haji dengan biaya hasil mencuri atau korupsi, sama halnya dengan orang yang shalat dengan pakaian hasil curian, ia berdosa. Ia tidak mempunyai hak apa-apa atas harta hasil curiannya itu. Ia justru berkewajiban untuk bertaubat, antara lain dengan menerima hukuman Allah atas pencurian dan mengembalikan harta itu kepada pemiliknya.
Ia sama sekali tidak berhak menggunakan harta itu untuk keperluan apapun, termasuk untuk pergi beribadah haji. Adakalanya seseorang mendapat harta bukan dari hasil kerjanya secara langsung, melainkan dari hibah [pemberian] atau hadiah.
Biaya melaksanakan haji yang didapat dari hadiah atau fasilitas, maka disyaratkan bagi pihak yang memberikan biaya itu benar-benar ikhlas dan rela, bukan karena paksaan, tekanan, manipulasi, dan sebagainya. Sehingga kemampuan [istitha’ah] yang berasal dari orang lain itu juga benar-benar halal, tidak tercampur unsur dosa dan sebagainya.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:“Tidak diterima shalat tanpa bersuci dan [tidak diterima pula] sedekah dari [hasil] ketidakjujuran [mengambil hasil rampasan perang sebelum dibagi oleh pemimpin].” [HR. Muslim].
Imam Bukhari berkata, ”Allah Ta’ala tidak menerima sedekah dari [hasil] kecurangan dan Allah Ta’ala tidak menerima kecuali yang thayyib (baik).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:Barang siapa bersedekah sebesar kurma dari hasil kerja yang halal, sementara Allah tidak akan menerima kecuali yang baik, maka Allahakan menerimanya dengan tangan kanan, kemudianmengembangkannya untuk pemilik sedekah itu sebagaimana salah seorang dari kalian memelihara anak kudanya, hingga sedekah itumenjadi sebesar gunung.” (HR. Bukhari).
Akan tetapi harta halal yang didapat dari usaha sendiri lebih baikdari harta pemberian atau hadiah. Sebagaimana yang dilakukan sahabat yang mulia Abdurrahman bin ‘Auf radhiyallahu ‘anhu, ketika beliau memilihberniaga di pasar daripada menerima harta hibah (pemberian) saudaranya Sa’ad bin Ar-Rabi’ radhiyallahu ‘anhu.